Tidak rapi. Itu kesan saya saat tadi menuju ke jendela untuk melihat apakah hujan di luar sudah reda: terali itu kelihatan kalau tempelan, menyusul setelah gedung jadi.
Di sisi lain saya paham, ini soal keamanan dan keselamatan. Jendela yang terpasang pada gedung sekolah kesehatan berlantai tujuh itu adalah jendela dengan engsel untuk buka tutup. Bukan jendela mati.
Apakah gedung dengan AC sentral harus memakai jendela mati? Arsitek yang bisa menjawab. Jika pun jendela dapat dibuka, tak adakah opsi penguncian oleh pengelola gedung, seperti di kamar hotel, untuk mencegah kecelakaan? Ini soal prosedur keselamatan.
Oh, kalau jendela terkunci, tetapi tanpa jerjak atau jeruji, bukannya bisa ditabrak orang, atau — semoga tak terjadi — bisa dipecah untuk melemparkan seseorang ke luar?
Semua hal pasti sudah dipikirkan dalam perancangan dengan sekian pengandaian. Apalagi ini gedung milik pemerintah. Oh maaf, gedung milik swasta pun harus begitu. Eh, tetapi kenapa jendela apartemen tanpa balkon dan rumah susun bisa dibuka? Itu diskusi lain kali.
Sebagai kemungkinan, orang jatuh dari gedung tinggi selalu ada. Bisa karena kecelakaan di luar kendali diri maupun bunuh diri. Silakan cari arsip beritanya dari kasus di Jabodetabek.
Gedung tinggi memang berbahaya. Saya pernah ingin memotret lanskap saat langit biru dan udara cerah sehingga Monas dan Menara BNI pun tampak dari atap gedung berlantai delapan di Jalan Panjang, Kebonjeruk, Jakbar. Kabar tentang pemandangan itu saya terima dari anak cleaning service. Tetapi akses ke atap dikunci. Saya harus minta izin kepada kepala gedung, seorang perempuan insinyur teknik sipil .
Wajar dia menanya apa keperluan saya. Saya sebutkan alasan saya dengan tambahan, “Tenang, kondisi saya stabil, dalam kesadaran penuh, nggak lagi depresi.”
Dia tertawa. Akses pun dibuka, dengan pesan, “Ati-ati ya, Mas.”