Ingatan sudah dirawat pun bisa geripis. Apalagi jika tak dirawat. Paling aman, kalau akhirya pikun jangan mengasah memori.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Lupa cara mengoperasikan lift

Lift. Elevator. Hari ini seperti barang asing bagi saya. Sudah dua tahun lebih sejak pandemi saya jarang bepergian ke tempat ramai dan kerumunan. Ke gereja pun baru empat kali sebulan terakhir sampai hari ini.

Ke mal? Paling banyak lima kali, itu pun terpaksa dan sebentar, antara lain karena urusan nomor ponsel dan ganti kacamata, lalu mengambilnya pun pakai Gosend. Yang lainnya karena di bengkel tak ada kopi dan ruang tunggu nyaman, sehingga saya ke mal sebelah bengkel, Gandaria City, Jaksel, saat itu yang boleh buka hanya kedai.

Tadi siang saya berangkat kondangan sendirian, ke gedung sebelah JORR, tiga kilometer dari rumah. Saya belum pernah ke sana, tetapi itu bukan masalah. Ternyata aula berada di lantai tujuh.

Ketika sampai di depan lift tanpa antrean saya lihat dua lampu petunjuk lantai menyala. Saya pun berdiri diam, menunggu angka berubah ke tingkat lebih rendah. Ternyata kedua angka tujuh santai saja.

Memang tak sampai semenit, dan tak perlu menunggu satpamwan datang menawarkan bantuan, akhirnya saya sadar harus memencet tombol naik. Untunglah setelah masuk kotak saya ingat semua caranya.

Saya mulai mencurigai diri sudah mulai pikun. Masa sih soal beginian lupa seperti memarkir sepeda tanpa standar?

Betul, selama dua tahun lebih saya tak berurusan dengan elevator. Ke mal dan acara di hotel hotel pun lewat eskalator. Padahal saat Covid-19 sangat mengancam, saya sampai membeli alat serbaguna untuk memencet tombol lift hingga membuka tutup kloset. Alat itu menganggur karena saya di rumah terus.

Merawat ingatan. Itu ungkapan klise. Saya merasa terus merawatnya. Tetapi ternyata….

Lupa cara gampang memarkir sepeda

4 thoughts on “Kagok lift tersebab pandemi

  1. Kalau saya kagoknya beberapa hari mulai 29 Juli 1998. Tersebab, kala itu saya mulai bekerja di Jakarta, meliput ke gedung-gedung tinggi berlift. Sebelumnya sekitar lima tahun bekerja di Solo, sangat jarang naik lift karena, waktu itu, belum banyak gedung-gedung tinggi yang ada liftnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *