Mestinya saya merentangkan ibu jari dan jari kelingking agar tampak sebagai ukuran sejengkal orang dewasa di samping batu ini. Begitulah, batu ini cukup besar. Tingginya lebih dari sejengkal.
Batu ini ditaruh di tepi ujung tonjolan melintang polisi tidur. Buat apa? Mencegah kendaraan, terutama sepeda motor, agar tak melipir untuk mengelakkan dua roda sebujur tak terkena poldur. Padahal poldur memang dibuat untuk menghambat laju kendaraan.
Poldur, apalagi yang tinggi terjal, adalah potret kegagalan sosial kita dalam merawat ruang kehidupan bersama. Mestinya tanpa rambu dan tanpa poldur pun setiap pengemudi kendaraan paham bahwa dalam permukiman jangan ngebut.
Entahlah nanti setelah motor listrik dan sepeda listrik makin lumrah. Tanpa bising knalpot, pengendara akan ngebut, apalagi jika poldurnya landai.
Mereka yang bicara adab dan kesalehan sosial akan tetap dianggap aneh karena soal beginian dimasukkan ke dalam akhlak padahal bagi orang lain ini bukan soal surga dan neraka.
4 Comments
Suka sekali dengan tulisan ini Mas. 🥰🙏
Apalagi kalimat terakhirnya, “Mereka yang bicara adab dan kesalehan sosial akan tetap dianggap aneh karena soal beginian dimasukkan ke dalam akhlak padahal bagi orang lain ini bukan soal surga dan neraka.”
Mestinya orang yang paham surga-neraka juga harus paham bahwa hal sekecil apapun itu dinilai, meskipun bukan berupa ritual.
🙏💐🍅
Jika ada poldur saat saya naik motor, saya selalu mencari celah di pinggirnya. Bukan agar bisa ngebut, cuma agar tidak merasa jedug-jedug di atas sadel trail tua saya.😁
Lha ya gitu. Asal ndak ngebut 👍