“Nah begitu saya datang ke rumah sakit anak saya sudah enggak ada nyawa. Itu sekitar jam 02.30 WIB,” tutur Sulastri (37) tentang kematian Fazar (17), anak lelakinya, kelas tiga SMP, dalam tawuran di Jalan Otista, Jaktim. (¬ TribunJakarta, 2017).
Senjata tajam telah menusuk rusuk Fazar. Salah satu parunya robek.
Silakan cari semua arsip berita tentang korban tewas dalam tawuran. Oh, itu tawuran remaja di luar jam berangkat sekolah sampai jam pulang sekolah, atau memang tawuran pelajar?
Nyatanya kebanyakan korbannya masih menjadi anak sekolah. Pelakunya juga. Bahkan pelakunya ada yang masih SD.
Pelaku klitih di Jogja sebagian pelajar. Membacok orang tanpa alasan dan tujuan, seolah nyawa korban melayang itu salah sendiri kenapa berada di tempat dan waktu yang salah. Kalau korban hanya cacat, atau kalaupun pulih dengan biaya operasi ratusan juta rupiah karena cedera kepala, bagi pelaku mungkin dianggap bonus kehidupan.
Aku sulit memahami kekerasan macam ini. Semua orang punya teori sosial. Guru tak mau dipersalahkan karena kejahatan anak-anak itu — kenakalan, menurut ilmu pendidikan dan polisi — terjadi di luar jam sekolah dan di luar sekolah. Tidak bisa semua urusan menjadi tanggung jawab sekolah.
Orangtua pelaku dan orangtua korban sama, menyebut anak mereka baik, rajin beribadah, santun di rumah. Jika anaknya menjadi pelaku, mereka tak percaya. Di rumah, anaknya tak pernah mendidih jadi amuk liar.
Jika menyangkut tawuran antarbasis sekolah dan antarkampung ada yang aneh: terjadi regenerasi kekerasan.
Dendam menjadi bara tungku yang harus dirawat. Cara merayakan kehidupan adalah menikmati babak demi babak diserang atau menyerang. Lebih menyeramkan lagi: dibunuh atau membunuh, dengan kontak fisik berbelati, berkelewang, dan bercelurit, atau apapun yang bisa melukai dan kalau perlu menamatkan hidup lawan bahkan siapapun yang boleh ditempatkan sebagai seteru.
Jika jual beli senjata tajam, yang kian gampang melalui ponsel, menjadi kambing hitam hitam, tangkisan klise ini masih berlaku: masa sih kita harus mengutuk penjual pisau dapur dan golok jagal kambing serta kios ATK yang menjual cutter plus lapak daring yang menjual beraneka pisau lipat?
Mengherankan, para senior veteran tawuran bukannya menghentikan tradisi tetapi malah mempertahankan mata rantai permusuhan. Pada kasus tawuran antarkampung hal ini terjadi. Bahkan saat perang batu dan molotov berlangsung, para orangtua menyemangati.
Seolah-olah hanya ada satu jawaban, jika ada satu korban di salah satu pihak, misalnya adik bahkan anak, harus diselesaikan dengan membalas. Rantai telah menjadi lingkaran setan. Tak ada ujung pangkal dendam untuk diceraikan.
Oh, apakah kultur kekerasan dipersubur oleh video games berisi perkelahian dan peperangan? Tak mudah bagiku menghakimi hal itu. Sila baca kontroversi gim keras dalam “Jenkins Debunks 8 Video Game Myths at PBS” (¬ Comparative Media Studies, MIT, 2005).
Dalam ungkapan Barat, jika konten yang bermuatan kekerasan harus dimusnahkan tuntas, sehingga tak ada sama sekali, produk yang mendapatkan giliran pertama adalah Alkitab. Nyatanya tak setiap pembaca tekun kitab menjadi pembunuh.
Tentang games, yang aku tahu setiap permainan mengenal pemeringkatan. Tetapi apakah setiap orangtua dan pengelola persewaan konsol peduli ESRB? Lihat juga infografik dan artikel ihwal pemeringkatan gim (bahasa Indonesia untuk games) di Beritagar.id, 2016.
Jika menyangkut tawuran pelajar, di luar maupun selama jam sekolah, saat berseragam maupun tidak, mengapa ada stigma untuk SMK teknik yang dulu disebut STM? Perlu data Polri selama dua puluh tahun terakhir tentang latar sekolah pelaku tawuran agar tak mudah menuding SMK.
Apakah kultur kekerasan merata di kalangan SMK? Sembrono jika menyebut begitu. Banyak SMK yang muridnya bukan warriors.
Oke di sekolah non-SMK juga terjadi kekerasan yang menjadi tradisi. Tetapi pertanyaan serupa bisa diajukan kenapa banyak sekolah yang bisa mendisiplinkan murid? Murid ketahuan berkelahi maupun menganiaya di sekolah akan dikeluarkan. Entah kalau di luar sekolah.
Tawuran pelajar: Senjata beli di lapak daring, untuk membunuh
3 Comments
Mengulang komen saya dalam konten sebelumnya kemarin : ngeri! (dengan tambahan tondho penthung alias tanda seru).
Lama gak denger “tanda pentung” alias eksklamasi 🙏💐👍
asli makin ngeri sekarang, paman.
smoga anak2 aman terlindung, terutama dari pelaku random ky klitih kui , duh