Sudah pukul setengah sembilan lebih tetapi anak-anak berkopiah, ada juga yang disertai sarung bukan pantalon, karena sekarang Jumat, masih menonton pekerjaan proyek polder dari jembatan. Entah pukul berapa sekolah mereka dimulai.
Anak berbaju koko biru hanya berdiri di depan pagar jembatan. Sedangkan dua anak lain, berbaju putih dan hitam, berdiri di atas buk jembatan, dekat sepeda yang mereka sandarkan pada pagar. Mereka berbincang. Mungkin tentang proyek itu, mungkin tentang alat berat di latar jauh.
Dari sisi saya ada yang lebih manarik. Polder itu memang harus ada karena lahan di sana sering menjadi mangkuk air saat banjir. Kali yang sedang dikeduk itu terus mendangkal dan menyempit, dan tadi tampaklah anjungan berkaki beton di bantaran.
Ruas kali pada ujung latar belakang foto itu sejak dulu lebih tinggi dari jalan. Tanggulnya dari jalan tampak setinggi semeter lebih. Saya sering bergurau, “Di sini meniru Belanda, air lebih tinggi dari daratan.”
Kembali ke soal anak-anak itu ya. Wajar, anak laki suka melihat pekerjaan proyek, apalagi kalau ada alat berat. Tanpa ada alat berat pun saya dahulu waktu bocah sering menonton pekerjaan, dari pengaspalan jalan yang aspalnya direbus dalam drum dengan kayu bakar, sampai orang menggergaji secara “come to you come to me“.
Ibu saya pernah marah, sulit mencuci celana saya, karena dalam saku ada gumpalan aspal. Saya memungut dan mengantonginya dengan harapan bisa menjadi pengganti lilin lempung atau was.
5 Comments
Jadi ingat Tuan Kecil Arka alias Mas Arka, cucu mbarep saya. Saya sering sebut Tuan Kecil Arka (dan Nona Kecil Ara) saat mengunggah foto-foto dua cucu saya di FB dan IG.
Ada tuan besar, tuan muda, dan tuan kecil. Kalo Puan kecil, setelah besar ingin jadi presiden. 🙈
😁
Maafkeun ikut ngakak dengan statement ini 😅😅🤣
Lhooooo 🙏🤣