Di gudang saya dapati pemotong-kuku karatan meringkuk dalam cepuk, tetapi bukan wadah dalam foto. Tentu jelas, yang berkarat itu si alat, bukan kukunya, sehingga kata “pemotong” dan “kuku” saya rangkai dengan tanda hubung.
Tetapi tenanglah, saya tak membahas bahasa. Itu jatah teman saya, Uda Ivan Lanin, insinyur teknik kimia alumnus ITB yang terperosok menjadi narabahasa dan kemudian Direktur Eksekutif Wikimedia Indonesia, lembaga penaung Wikipedia Indonesia.
Tentu alat kecil merangkap gantungan kunci ini harus segera saya buang. Selain sudah tidak tajam lagi juga sudah berkarat. Kalau dipaksa bertugas dia dapat membuat orang terkena tetanus berujung maut.
Tentang pemotong kuku ini saya ingat bukan saya yang membeli maupun mendapatkannya sebagai pemberian. Saya menduga peranti mungil ini hadiah, atau oleh-oleh, untuk anggota keluarga saya.
Andai kata alat ini adalah buah tangan dari perjalanan seseorang ke negeri jauh, saya membayangkan sebuah kisah biasa namun sebenarnya pahit. Dahulu ketika orang pergi ke luar negeri masih dianggap kemewahan tebal, banyak orang minta oleh-oleh. Jika peminta teramat banyak orangnya, padahal sangu cekak, cara paling mudah adalah membeli suvenir kecil murah meriah dan semoga berfaedah. Harus kecil agar tak merepotkan dalam pembawaan.
Si penerima belum tentu terpuaskan sampai ke titik teratas panjatan, namun si pembeli sudah keluar duit banyak karena harus memenuhi permintaan banyak orang. Akhirnya karena dari sisi penerima barang kecil ini antara penting dan tidak, apalagi jika dari segi kegunaan sudah ada barang sejensis di rumahnya, alat semacam pemotong kuku ini akan rusak menganggur. Si pemberi pun sudah melupakan barang itu.
Baiklah, itu tadi hanyalah pengandaian. Lebih wigati ini: dari mana pun asal muasal barang, apakah kita selalu tertib bertega diri untuk membuang barang rongsok dari rumah kita?
Perihal barang ini saya ingat dia pernah menjadi gantungan salah satu kunci di rumah.
5 Comments
Adaaa aja tulisan Mas ini. Kreatif. Semua hal kecil bisa dijadikan tulisan ehehe. 🥰👍
Kalau saya dari dulu, ga mau Mas minta oleh-oleh saat teman atau keluarga ke luar negeri. Sungkan, apalagi tahu kalau pasti mereka juga kerepotan dan bawaannya bentheotan.
Namanya juga orang iseng lagi kumat, Mbak. Jadi ya nulis apa saja.
Bener, jangan merepoti orang yang bepergian 👍🙏🎉
Tentang buah tangan seseorang dari luar negeri, saya ingat satu kisah dalam serial Kiki (atau Kiky?) dan Komplotannya karya Arswendo Atmowiloto di Majalah Hai puluhan tahun silam.
Untuk mengirit pengeluaran buat beli buah tangan dari luar negeri untuk komplotannya, di luar negeri Kiki membeli balon besar berwujud apa saya lupa, kemudian menggantungnya di ruang tamu di rumahnya di Jakarta.
“Ini oleh-oleh buat kalian semua, silakan dilihat rame-rame,” begitu kira-kira kata Kiki kepada komplotannya, banyak orang, yang berkumpul di ruang tamu.
Itu satire. Ngécé pendamba oleh-oleh dari luar negeri. 🙈