โ†ป Lama baca < 1 menit โ†ฌ

Pemotong kuku Rp10 dalam flash sale toko online

Hari Minggu, kalau bisa sebelum malam, adalah saat memotong kuku. Bagi siapa? Kita, saat masih TK dan SD karena hari Senin Bu Guru akan memeriksa kuku.

Saat saya kelas satu SD, Bu Guru galak menggunakan sabetan dari bambu. Pernah suatu kali ada satu jari saya yang kukunya panjang menghitam, antara lain karena darah kering, soalnya jari saya terluka sampai harus diperban dan diplester — saat itu belum ada Tensoplast.

Maka gitik bambu itu disabetkan pada jari yang tangan saya yang terbuka menelungkup di atas meja. Termasuk ke jari yang bengkak, sehingga perban putih menjadi kuning basah. Untuk sekian lama saya mendendam guru itu tapi seiring perjalanan waktu rasa itu menipis lalu hilang.

Guru SD, dan sebelumnya guru TK, mengajarkan kebersihan kepada kita. Memeriksa kuku adalah salah satunya. Guru saya kelas tiga SD, namanya Pak Giarto, setiap kali mendapati kuku hitam panjang akan menghadik murid dalam bahasa Jawa, “Kuwi kukumu kopรจt thok!” Saya tak tega mengindonesiakannya untuk Anda.

Tentang pemotong kuku, saya pikir-pikir dulu termasuk barang mewah. Tidak setiap anggota keluarga punya. Padahal tidak mahal. Entah kenapa. Apakah pertimbangan higiene, misalnya penularan penyakit melalui cairan tubuh dan luka, belum merasuk secara merata?

Kini pemotong kuku adalah alat personal. Ada dalam toiletry bag di kantor maupun ransel harian (bagi manusia bohemian) — apalagi saat traveling.

Pemotong kuku Rp10 dalam flash sale toko online

Nah, salah satu pemotong kuku saya, yang saya foto itu, harganya Rp10. Saya beli dua, sesuai batas maksimum, dalam suatu flash sale di lapak daring tiga tahun silam. Lebih mahal ongkir.