Saya menemukan posting 2013 ini pekan lalu saat menulis soal rambu proyek. Akan saya angkut buat NPL, sudah menulis judul, tetapi tersela sesuatu, lalu saya lupa. Malam ini saya melihat ada draf laku saya lanjutkan.
Tulisan “Enyah!” dari stiker potong ini saya buat pada 2011, saya tempelkan pada dinding luar tak berpintu ruang kerja saya di Rumah Langsat, Kebayoran Baru, Jaksel.
Ternyata ada beberapa orang, terutama tamu, yang tak tahu arti enyah — sama seperti tulisan “peturasan” yang saya bingkai akrilik untuk kamar kecil. Artinya kedua kata itu arkais, sudah tak laku lagi.
Kenapa jadi arkais karena media berita jarang memakainya. Bisa karena pilihan redaksi, dan bisa juga, menurut kawan saya, pengarah kreatif mantan penulis wara (copywriter) biro iklan, karena kosakata awak redaksinya tak sebanyak jurnalis angkatan sebelumnya. Ah, masa sih?
Dia juga bilang, “Anak media tuh ada yang bahasa Inggrisnya bagus, tapi bahasa Indonesianya jelek. Aneh kan?”
Kawan lain berpendapat, media berita cenderung mengikuti bahasa media sosial yang kadang merupakan versi teks dari bahasa lisan nonbaku. Ah, ini harus didukung data supaya sahih.
Kalau saya sih sadar harus terus belajar bahasa Indonesia. Belajar bahasa Inggris? Dari dulu tidak maju-maju.
3 Comments
Barang siapa dari bahasa Melayu. KUHP masih pakai krn cuma meneruskan warisan WvS Belanda, yang RUU KUHP masih di DPR, katanya sih tinggal finalisasi. Kalo gak salah barang siapa itu terjemahan untuk “hij die” (dia siapa).
Berlomba lekas. Kapan hari saya ada baca istilah ini di konten Paman. Orang lain biasanya pakai berlomba cepat. Paman memang arkais.
BTW, percuma dong sang penghuni ruang memasang kata enyah! untuk mengusir orang lain, kalau ternyata orang-orang enggak tahu artinya?😁
Poin dua sangat betul terutama dalam praktik jurnalistik, bahasa tergantung siapa pembacanya, maka Kompas.id dan Kompas.com berbeda. Republika dan Poskota beda.
Tetapi untuk aturan dan hukum bisa berbeda dari praktik jurnalistik. Tentu bahasa hukum juga harus menyesuaikan diri dengan zaman. Maka kata “barang siapa” dalam UU sekarang menjadi “setiap orang”.
Nah soal rambu enyah ini memang untuk humor dan tes bahasa. Kalo rambu peturasan, Satucitra Advertising pernah pakai di sebelah panggung saat pesta ultah. Juga untuk humor dan mungkin menguji copywriter dari agensi lain. 🤣