Setiap kali menyiram, daun yang robek itu saya balikkan, saya amati, adakah ulat yang lucu ketika menjadi bantal hijau. Tak pernah ada. Lalu daun berikutnya seperti dirobek. Saya periksa lagi. Lantas tadi pas magrib, saat lampu teras sudah menyala, si biang keladi habisnya daun keladi itu terlihat oleh istri saya. Daun tinggal rangkanya. Ibarat ikan tinggal durinya. Si ulat menempel di sana, gemuk menggembung kekenyangan.
Oh, rakus betul dia. Cepat sekali mengganyang daun. Ketika datang dia muncul sebagai kupu-kupu yang menaruh telur. Lalu telur itulah yang menjadi ulat, tetapi manusia hanya menyukai kupu-kupu, bukan ulat.
Saya sebut dia si rakus dari Pondok karena tempat tinggal saya dahulu ikut Kecamatan Pondokgede, Bekasi. Angkot dan warga setempat dahulu menyebut kawasan itu, terutama pasarnya, cukup Pondok.
Kembali kepada kerakusan ulat, saya teringat koruptor yang seolah tak mengenal kenyang. Sangkaan kasus korupsi spektakular adalah Lukas Enembe. Adapun kasus korupsi terbaru menyangkut Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Gaji hakim adalah Rp126 juta — Rp542 juta per tahun. Untuk hakim agung ditambah honorarium per perkara.
Menurut lampiran PP No. 55/2014, tunjangan jabatan hakim agung adalah Rp72,8 juta — kalau misalnya itu per tahun berarti per bulan cuma Rp6 juta; tetapi apakah mungkin, agung kok murah?
Sedangkan PP No. 82/2021, yang mengubah PP No. 55/2014 tentang hak keuangan hakim tak memuat lampiran revisi.
Moral cerita? Kerakusan tak kenal kata cukup. Lihat saja si ulat agung. Ya, ulat agung.