Warna daun harus hijau. Tak ada yang ungu maupun merah beram kapisa. Maka dahulu ketika saya masih bocah, guru menegur murid yang menggambar daun dengan warna lain tanpa menanya alasannya. Sama seperti guru yang marah ketika memberi tugas dengan kalimat ringkas “Gambarlah seekor anjing” lalu seorang anak menggambar garis tegak tembok dengan buntut anjing menyembul.
Bapak si anak, seorang pendidik, menganggap anak macam itu kreatif. Tetapi guru menganggap si anak kurang ajar ketika menjelaskan, “Itu anjingnya belok kanan, yang tertangkap mata saya hanya ekornya.”
Pak Guru ngeyel, “Tugas kamu menggambar, bukan memotret.” Nilai menggambar anak itu selalu jelek. Namun dia pernah mendengar Pak Guru berbisik ke guru lain, ketika mereka mengamati jadwal buatan si anak dengan latar lukisan abstrak cat air yang ditempel pada lemari kelas, “Anak ini sebenarnya tahu komposisi, gagasan menggambar dia kaya, tapi dia sulit diatur, sesuka dia.”
Tentang warna, anak itu juga merdeka. Daun tak harus hijau. Gunung tak harus merah dan tajam. Pernah dia menggambar gunung abu-abu, sedikit, karena tertutup awan yang dominan. Guru tak suka. Ketika ada tugas menggambar gerbang kampung dihias 17 Agustus, si anak menambahkan orang sedang tidur.
Jika kapsul waktu bisa menjebloskan si anak dan guru ke masa lalu, namun disertai internet ponsel, entah apa kata si guru tentang bermacam gambar termasuk foto.
2 Comments
Anak yang benar-benar 🙈😂😅👍
Bocah mbrengkélé nganyelaké 😁