Banyak media terkendala untuk menghasilkan foto bagus, dan di sisi lain banyak pembaca juga tak menuntut foto orisinal yang sip.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Cilukba daftar nomor prabayar

Saya iseng membandingkan foto media berita secara sekilas seputar isu kebocoran data kartu SIM prabayar. Umumnya bergambar ilustratif, memanfaatkan stok foto yang mewakili SIM dan teknologi seluler. Apa boleh buat, ini pilihan paling tepat karena kejaran tenggat. Media daring harus cepat. Gambar harus ada supaya CMS tidak ngambek.
Foto ilustrasi kebocoran data dari kartu prabayar

Saya tidak tahu media apa saja, selain Kompas.id, yang memiliki foto terbaru dari lapangan, yang menunjukkan penjualan nomor secara manual, di kios yang digelantungi kertas berisi daftar nomor prabayar.

Seolah-olah suasana dalam foto tak beda dari belasan tahun silam di ITC Roxy Mas, Jakpus, dan kios lainnya: daftar nomor, dalam sebuah kios ponsel, tak hanya ratusan tetapi bisa ribuan nomor. Semua nomor dipajang. Dalam fon berukuran kecil. Seakan-akan mata konsumen akan dapat memindai dengan cepat untuk kemudian menetapkan nomor cantik. Dari balik kertas tergantung itu orang bisa bermain cilukba.

Cilukba daftar nomor prabayar

Bagi saya foto yang seperti koran Kompas itu menarik: secara ilustratif menampilkan sisi bisnis kartu prabayar dan menautkannya dengan perlindungan data pribadi, sebagai potongan episode 2022.

Makin ke sini ketika media berita daring terus berpacu mengejar kecepatan terbit, prioritas diberikan kepada foto berita langsung (hard news, breaking news). Kasus Sambo adalah contoh.

Lalu ke mana foto-foto berita lunak atau liputan berkisah? Lagi-lagi soal prioritas. Untuk konten gaya hidup, terutama kuliner dan pariwisata, foto bagus ada di Instagram. Tinggal semat.

Cilukba daftar nomor prabayar

Foto-foto berkisah tentang kehidupan rakyat Indonesia — dari sampah, suku laut, suku rimba, sampai acara mahal kelas atas — menjadi terlalu mewah bagi sebagian media. Leluconnya: mau baca gratis kok minta liputan dan foto bagus.

Saya pernah mendengar, “Emang semua media harus kayak Kompas.id dan Project Multatuli?”

Antara punya foto-foto bagus, tetapi media pemakai harus berlangganan, suatu hal yang lazim dalam layanan kantor berita. Memang sih saya pernah mendengar gerundelan, Antara itu milik pemerintah, kenapa orang harus bayar? Lha tetapi harus diingat, Antara itu BUMN, karena merupakan perusahaan umum, tentu punya rumus tentang batasan pelayanan umum dalam hal informasi publik berupa foto.

Praktik selama ini, Antara menutup mata terhadap pemakaian foto tanpa izin oleh media kecil dan blog pribadi yang tak terlalu komersial. Saya, mohon maaf, termasuk pengguna foto Antara (yang dimuat oleh media pelanggan, bukan di situs Antara Foto maupun Instagram) dan foto media lain untuk blog ini tanpa izin, namun saya memberikan atribusi. Jika pemilik hak cipta meminta saya menurunkan gambar harus saya penuhi.

Adapun untuk foto tokoh, untunglah sejumlah media punya yang bagus. Misalnya Tempo, Detik, Liputan6, Medcom, Republika, Kumparan, Jawa Pos, dan Viva. Kalau foto kepresidenan yang layak sih semua media bisa memanfaatkan jepretan BPMI Setpres.

Foto berita adalah bagian dari khazanah sejarah. Di satu sisi banyak media terkendala sumber daya untuk menghasilkan foto bagus, dan di sisi lain — dalam pengandaian saya — tak semua pembaca menuntut foto berita yang bagus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *