Kenapa dulu orang bisa hidup tanpa WA? Karena belum ada smartphone dan mobile internet.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Banjir pesan di WhatdApp setelah ponsel prei sekian hari

Baru sore ini saya menginstalasikan WhatsApp setelah libur sekian hari karena ponsel bermasalah. Ada seribu lebih, entah sampai berapa kapasitas WA, maksud saya apakah sampai lebih dari 1.200 pesan.

Saya belum membuka satu per satu japri maupun dari aneka grup. Saat saya mencuci sekitar magrib tadi, pesan terus plang-paling masuk, ada bunyinya karena saya belum menyetel untuk membisukan pesan manuk secara umum.

Saya sengaja memasang WA paling akhir, atau mendekati tahap akhir, karena aplikasi paling menyibukkan itu WA. Seperti berlaku pada kebanyakan orang, pesan terbanyak dari grup yang anggotanya aktif apalagi sampai ratusan, dengan pola komunikasi yang khas yaitu enggan menjapri untuk ucapan sukacita maupun dukacita.

Kini saya makin paham kenapa ada orang enggan dilibatkan dalam grup yang aktif.

Saya juga makin paham kenapa ada yang mengeluh, dengan canda, saat sebuah grup sekian lama sepi. Si pengeluh biasanya aktivis WA dengan hobi meneruskan pesan dari grup lain maupun memosting sendiri.

WhatsApp, sebagai jenama, adalah pelesetan slang Amrik untuk “what’s up?“, setara “how are you doing?“. Dalam bahasa arek Jatim: yok opo, Cak? Kehidupan sosial membutuhkan salam sebagai wujud kepedulian. Rubrik catatan ringan, dari serial laporan langsung Kompas saat Olimpiade Atlanta 1996, adalah What’s Up.

Kini pukul 20.04. Paragraf susulan ini menutup catatan saya yang sore tadi terhenti. Pesan di WA belum saya tengok. Tetapi previu angka tetap menunjukkan 999+. Dan bunyi pesan masuk tak kunjung usai.

2 thoughts on “Banjir seribu lebih pesan WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *