“Nggak ada kejahatan sempurna. Pasti ada lubangnya. Sepandai-pandai tupai melompat….” kata Kamsi.
“Akhirnya jadi bajing juga,” kata Kamso.
Setelah tawa reda, Oma Rosa Tralala bicara, “Persoalan Sambo ini banyak lubang soalnya nggak dimulai dari pikiran dingin. Dia reserse, paham cara kerja polisi, tapi karena emosi jadi nggak rapi. Setelah kejadian baru nyusun cerita lanjutan, mengerahkan teman-teman. Emang sih kabarnya dia udah udah siapin kondisi tapi tetep aja nggak rapi. Paduan suara dia nggak rapi. Atau ada yang terlalu keliatan hafalan, kayak dua ajudan dia yang diinterogasi terpisah. It was a crime of passion, which is why it wasn’t thought out properly by someone who was a trained detective*.”
“Nah, Oma kan dari dulu suka baca cerita detektif, suka liat pilem detektif,”sergah Mini, keponakan Oma.
Oma melanjutkan, “Bohong itu nggak gampang soalnya harus diikuti kebohongan baru. Aku dulu sebagai ibu asrama udah kenyang sama kebohongan anak-anak. Semakin banyak yang terlibat semakin banyak lubangnya. Misalnya ada yang ngadu dipentung satpam gedung sebelah, aku kenal satpamnya. Anak-anak menguatkan. Aku tanya secara terpisah, mentungya pake tangan kanan atau kiri, sebagian besar bilang kanan. Padahal satpam itu kidal. Banyak deh.”
“Termasuk itu ya, anak yang ngaku jatuh dari pohon waktu metik rambutan padahal habis berkelahi,” kata Kamsi.
“Ya bedalah luka berkelahi sama jatuh dari pohon. Lagian nggak musim rambutan, hahaha… Ya gitu deh. Menurutmu, Kam?”
Kamso menjawab, “Idem, Oma. Ada yang namanya bohong, ada yang namanya merahasiakan. Yang bohong kolektif disertai penghilangan bukti tuh kayak kasus Sambo. Kalo yang rahasia kenapa nggak kebongkar, soalnya para pelaku diam dan nggak dalam posisi harus menjawab. Kayak operasi intelijen. Kalo kasus Sambo, sejak awal tanpa ditanya pun harus menjelaskan padahal fiktif. Itu repotnya. Setiap kali harus menangkis atau setidaknya mengelak karena ditanya, dipersoalkan lewat media oleh pengacara keluarga Yosua.”
“Oma,” Kamsi menukas, “kalo kebohongan atau rahasia suami gimana?”
“Ah kamu ini, Kamsi. Aku sampe sekarang kan lajang meski punya cucu dari keponakan. Aku nggak punya pengalaman, hahahaha!”
*) mengutip sumber Asia Times
2 Comments
Saya dengar pertama kali kalimat “bohong harus diikuti kebohongan baru/lain” ini saat kuliah semester pertama, abad lalu (istilah Paman), dan sering terbukti.
BTW sekarang saya menunggu kabar bahwa motif/peristiwa di Magelang versi Sambo terbukti bohong.
masalahnya bakal ada kebohongan baru ndak?