Seorang pengusaha katering yang mulai menggeliat lagi setelah bisnisnya dihajar dampak Covid-19 menirukan komentar pelanggan baru, “Masakan Ibu enak. Orang yang saya kirimin pada suka. Pantesan mahal, soalnya semua pake kertas cokelat yang lagi ngetren! Coba kalo pake mika mestinya kan bisa nekan harga ya, Bu!”
Bu Katering kesal. Lontaran pelanggan baru tadi masih lunak. Ada saja pelanggan lain yang ogah kemasan ramah lingkungan ibarat harga mati kecuali tak ada kenaikan harga.
“Ya emang selisih, apalagi pake cetak nama katering saya. Cek aja di Tokopedia. Padahal dia punya duit, punya posisi di kantor bagus, relasinya suka kemasan yang ramah lingkungan, ” kata ibu itu.
Baiklah, kita makin terbiasa dengan kemasan kertas dan apapun yang diklaim ramah lingkungan, dari belanjaan makanan dan bahan dapur secara pesan antar sampai barang ringan. Semua butuh biaya. Sebenarnya tas keresek dan kotak mika yang harus dikokokot pun tidak gratis, sudah dihitung sebagai komponen biaya.
Saya bilang kepada Bu Katering, “Namanya juga gaya hidup. Butuh biaya dan lebih penting lagi waktu buat membiasakan. Jadi ya kita harus kompromi. Untuk konsumen yang belum biasa, kita ngalah, pake mika.”
“Oke deh, Oom!” sahutnya diikuti tawa keras.
¬ Infografik: Lokadata.id
Botol plastik berpenutup kaleng, bagian mana yang lebih ramah lingkungan?
2 Comments
Kompromi di kedai istri saya adalah tentang pembungkus menu selat Solo dll. (kertas biasa atau mika thinwall, yang selisih Rp 3.000).
Tas masih pakai tas keresek, belum terpikir penggunaan tas kertas, ya karena soal bisa bikin harga tambah tinggi.
Tas plastik masih unggul terutama untuk ditenteng dan dibawa pake motor, tahan air pula. Kertas nggak bisa 😇