Partai bisa kayak fan club karena menjadi personifikasi ketum. Mestinya partai seperti bus, siapa sopirnya tak penting.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Jokowi unjuk gigi di tengah peta politik yang isinya fan clubs

“Jokowi mbagusi ya. Unjuk power, mengarahkan sekian kelompok relawan untuk nahan diri soal capres, bukan buat nyalonin dia tapi orang lain.”

“Namanya juga fan club. Si idola merasa terpanggil untuk mengarahkan fans. Kayak artis yang ingetin fans jangan ngedrugs. Artinya sadar posisi dan peran. Bisa aja sih pilihan dia nanti sama dengan induk. Weruh sakdurungé pinarak karena sudah winarah. Eh, apa bahasa Indonesianya?”

“Emang fan club udah biasa ya di politik?”

“Banyak. Ya fans Jokowi, fans Anies, fans Ganjar, fans Bowo, dan lainnya…”

“Partai termasuk fan club?”

“Ada yang gitu.”

“Misalnya?”

“Liat aja partai yang mengalami personifikasi ketua umum, bisa ketua umum penerus, bisa ketua umum pendiri yang masih aktif di belakang layar. Partai anu adalah si Slamet , partai anu lain adalah si Bejo, partai anu yang itu adalah si Siti. Orang pindah ke partai anyar juga karena siapa pendirinya.”

“Wajar dong. Namanya juga tokoh, idola pula.”

“Kalo buat partai mestinya nggak gitu. Partai yang bener itu kayak bus, siapa sopir dan kernetnya nggak penting, karena trayeknya jelas, hidup dari penumpang otobus yang cocok sama PO itu dan mau bayar ongkos. Ganti sopir nggak problem.”

“Emang ada?”

“Liat aja partai yang namanya lebih dikenal ketimbang nama ketuanya, nggak soal dia dapat kursi dikit maupun banyak, tetap brand partai yang nancep di benak khalayak ramai maupun sepi, khalayak yang suka maupun sebel sama partai itu. Ideologinya jelas. Cita-citanya juga. Ganti ketua nggak masalah.”

¬ Gambar praolah: BPMI Setpres, Shutterstock

2 thoughts on “Copras-capres dan fan clubs

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *