“Kayak anak sekolah, punya buku EYD,” seseorang mengomentari punggung buku di dekat lampu pada rak buku.
Saya bilang, buku itu untuk tabir bagi buku lain supaya sampulnya tak memudar karena terpapar cahaya dari dekat. Saya pun berterus terang tak pernah membuka buku bertajuk EYD Plus, setebal 245 halaman (plus xii), yang saya beli pada 2008 seharga Rp28.200 itu.
Selain buku ada pula amplop biru undangan resepsi pernikahan pada 2019 untuk istri saya. Fungsinya sama: tabir cahaya lampu.
Kenapa saya memasang lampu meja berbahan gelas putih susu tanpa sambungan itu di rak buku? Untuk penerang ruang, bahkan siang, karena setelah jendela terteduhi tembok tinggi tetangga maka ruang saya pun menemaram.
Barang cetakan akan memudar jika terpapar cahaya lampu dari dekat. Sayang bukunya.
Soal lain, manakah yang benar, EYD atau EyD untuk abreviasi ejaan yang disempurnakan — atau Ejaan yang Disempurnakan? Maaf, saya belum memeriksa apakah isi buku itu mengaturnya.
Kalau PUEBI, yaitu Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (eh, apakah benar setiap kata diawali huruf kapital?)*, yang merupakan penerus EYD/EyD, sila unduh dari laman Badan Bahasa.
*) Sebagai istilah dalam pembakuan dan kodifikasi kaidah bahasa, Keputusan Kepala Badan Bahasa No. 0321/I/BS.00.00/2021 menyebutnya “pedoman umum ejaan bahasa Indonesia”, namun sebagainya produk hukum surat tersebut menyebutnya “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia”. Jika Anda bingung, sila menanya guru bahasa Indonesia. Saya bukan guru. .
2 Comments
Saya pernah punya buku serupa, sampulnya putih,dan dahulu kala juga enggak pernah membukanya.😁 Sudah lama hilang, dan sudah lama pula rumah saya nirbuku.
Zaman sekarang bacaan tak harus dari kertas, musik tak harus dari CD. 😇