Lihatlah gambar. Pemilik warung tak melarang, hanya menganjurkan konsumen agar tak merokok dengan bahasa yang lunak, “Lebih baik tidak.”
Pemilik warung itu dahulu seorang perokok lalu berhenti karena sering batuk. Namun dia tetap menjual rokok, dengan rak peraga dari produsen.
Sedangkan warung lain, justru karena berlokasi depan taman dan lapangan basket tempat remaja berkumpul, sejak awal memutuskan tak menjual rokok. Ketika sang istri mau bikin warung, suami mengatakan kalau nanti berjualan rokok lebih baik tidak buka warung.
Minimarket 212 dekat rumah saya juga tak menjual rokok maupun kondom. Entahlah dengan lubricant (pelincir) dan test pack. Setelah Koperasi 212 tak jelas nasibnya, minimarket itu berganti nama, dan tetap tak menjual rokok maupun kondom.
2 Comments
Pemilik warung itu moderat, pemilik warung lain militan/garis keras.
BTW baru kali ini saya baca kata pelincir 😁 dan bukannya pelicin.
Alkohol dan produk tembakau memang harus dibatasi, termasuk dengan mekanisme fiskal bernama cukai. Nunukan kemasan bergula juga.
Yang jadi masalah, penjual rokok dekat sekolah tetap melayani pembeli bawah umur.
Soal pelincir, dari kata dasar lincir, bukannya itu kata lawas, menjadi pedanan lubricant yang artinya pelumas? Maka ada istilah “lincir lidah” (fasih berbicara) dan “lincir mulut” (pandai membujuk untuk memperdaya).
BTW bahasa Indonesia dalam jurnalistik akhirnya kurang kaya karena banyak orang media tergiring bahasa media sosial. 🙏