Justru karena dekat lokasi anak muda mangkal, pemilik warung sejak awal tak menjual rokok. Ini soal prinsip.
↻ Lama baca 2 menit ↬

SELAIN REGULASI YA NIAT DIRI.

warung yang tak menjual rokok di pondokgede

Warung dalam gambar ini seperti umumnya warung di kompleks perumahan. Menyediakan aneka barang, dari permen, kopi, sampai sabun.

Yang membedakan dari umumnya warung adalah dia tidak menyediakan rokok. Padahal lokasinya dekat lapangan basket merangkap futsal, dan saban hari pendopo mini (sebetulnya gardu jaga) di sana buat nongkrong anak muda.

Sejauh info yang saya dengar, karena saya belum melakukan tabayun, sang tuan pemilik warung memang antirokok sehingga ketika sang nyonya akan membuka warung maka syaratnya adalah, “Kalau harus jual rokok lebih baik nggak usah buka warung.”

Saya perokok dan saya menghargai bahkan menghormati kebijakan berwarung macam itu. Tanpa banyak cincong, sikap langsung ditunjukkan. Maka warung di Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi, itu pun tak memuat aneka materi grafis promosi rokok.

Dalam perspektif yang berbeda, ini seperti sikap dan tindakan sebuah warung yang menjual rokok tapi menolak pembeli di bawah umur. “Bapakmu sendiri yang ke sini kalo mau beli rokok, jangan nyuruh anak,” begitu kira-kira penolakan si pemilik warung. Padahal saat itu aneka peraturan promosi dan distrbusi rokok belum banyak.

Kedua jenis warung itu meyakini apa yang baik dan buruk, apa yang pantas dan tak pantas, dalam berbisnis. Ini serupa Bon Jovi yang menolak konsernya disponsori merek rokok karena dia memang bukan perokok. Bahwa sikap dan kebijakan macam itu akan menimbulkan sedikit masalah, saya yakin bisa dijembatani dengan komunikasi.

Tentang keyakinan dan sikap dalam berbisnis sudah banyak contoh dari pebisnis besar. Sesosok pelaku bisnis bisa saja menolak cara yang dilakukan oleh kawan seiring sekaligus kompetitor tanpa menyebut mereka bersalah.

Maka saya pun teringat Pak Noeradi, salah satu tokoh periklanan Indonesia, yang dengan biro iklannya, Intervista, pada tahun 70-an menolak menggarap pengiklanan susu kental manis dan bir.

Pada 1992 saya bertanya kepadanya apa alasannya. Untuk susu kental manis, sesuai konteks 70-an, dia melihat penggunaan yang eksesif dari susu kental manis oleh banyak ibu untuk bayinya.

Sedangkan untuk bir, dia melihat sendiri sekelompok pelajar tawuran di Cikini dengan bersenjatakan botol bir yang sudah dipatahkan. Saya lupa, biro iklan mana yang dulu menggarap Anker dengan slogan “Ini bir baru, ini baru bir” itu. Apakah Intervista? :)

Bisnis memang tak gampang karena persoalannya bukan asal dapat uang. Setiap pelaku punya pedoman sepihak yang diberlakukan sendiri. Tapi kalau menyangkut rokok, maka perkembangan sekarang makin rumit. Regulasi membuat produsen dan biro iklan kian kreatif dalam memasyarakatkan brand. Hasilnya: koran besar, misalnya Kompas, yang puluhan tahun menolak “iklan rokok dalam gaya lama” (baca: mengajak orang merokok), akhirnya tak sanggup menghindar jika brand rokok juga melekati acara olahraga, musik, dan ajang kreativitas pemuda untuk berinovasi.

Bagaimana dengan media sosial dan pelakunya? Antara repot dan tak repot. Jika bentuknya seperti cara promosi halus Flava, dari Sampoerna, toh ada penggiat media sosial (blog, Twitter, Facebook) yang kikuk juga — sementara produsen dan pelakunya pun berhati-hati.

Jika bentuknya bukan promosi brand rokok tetapi kegiatan pendidikan oleh yayasan yang didirikan oleh keluarga eks-pabrik rokok dan masih membawa nama keluarga sebagai merek rokok? Bagi saya tak mengapa karena sejauh saya tahu pengumpulan beasiswa dilakukan dengan mengetuk masyarakat umum (perokok dan non-perokok), bukan dari hasil penjualan rokok (kecuali untuk modal awal).

Kalau promonya adalah CSR pabrik rokok, misalnya untuk lingkungan, berupa penghijauan kota? Blog ini pernah memuat advertorial dari kegiatan produsen rokok, dan saya nyatakan sebagai “advertorial” baik dalam kategori maupun catatan kaki (bahkan ada kata “titipan”). :D

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *