Sejarah aku belum lahir

Cara untuk menutupi malu soal sejarah kontemporer adalah berkelit, "Saya kan belum lahir."

▒ Lama baca < 1 menit

Menutupi ketidaktahuan sejarah dengan bilang saya belum lahir

Agus Ensiklopedia mulai ngantor lagi setelah hampir dua tahun WFH terus. “Senang, bisa kerja normal. Tapi aku dibilang berubah, Mas Kam,” dia bercerita via telepon.

“Berubah tambah tua, makin ganteng, atau apa?” tanya Kamso.

“Jadi pendiam untuk hal tertentu. Kayak males ngomong, kata anak-anak kantor.”

“Oh kamu sekarang diet ngoceh, Gus?”

Lantas Agus bercerita, sejak sebelum pandemi, meskipun ditanya, dia membatasi konten untuk topik tertentu.

“Soal waktu. Ada aja anak-anak yang sok tau, lalu debat ama anak lainnya. Lantas mereka nanya, aku jawab ringkas aja. Nah anak-anak sontoloyo eh sotoy babaty ayamy ini setelah aku kasih tau lantas bilang, ‘Saya kan blom lair!’ Lah dia yang nanya, begitu dijawab nggak ada respeknya!”

“Hahahaha! Biasa itu. Dulu aku sering digituin. Biar aja, itu cara nutupin malu karena kurang wawasan, malas baca, lebih suka yang instan, itu pun dari mulut orang. Biasa, tradisi oral. Padahal melek aksara lho.”

“Apa karena mereka milenial dan gen Z ya, Mas?”

“Bukan. Nggak ada hubungannya. Di angkatan sebaya kamu dan aku juga ada orang-orang macam itu. Kesian lho, doyan ngobrol apa aja bahkan debat tapi literasi, maaf kata nih, kedodoran. Kalo sekarang sih baca nggak harus dari buku kertas.”

¬ Gambar praolah: Shutterstock, Antara, Wikimedia Commons, Geheugen van Nederland

4 Comments

junianto Selasa 31 Mei 2022 ~ 06.49 Reply

Waduh, literasi kedodoran, itu termasuk saya. 🙈

Pemilik Blog Selasa 31 Mei 2022 ~ 10.27 Reply

Jangan gitu ah 🙏😇

junianto Selasa 31 Mei 2022 ~ 12.44 Reply

Fakta (menyedihkan) sejak pensiun, Paman.

Tinggalkan Balasan