La Nina menunda kemarau di sejumlah wilayah dan sekaligus mengulur musim hujan. Bagi manusia, iklim dan cuaca dianggap merugikan kalau tak sesuai kepentingannya. Misalnya dalam urusan keset atau pengesat kaki.
Saat kemarau, keset cepat berdebu. Bukan karena kaki melainkan debu yang dibawa angin. Saat musim hujan, keset lekas basah memberat.
Tentang keset ini saya ingat kata dalam bahasa Jawa yang membingungkan saat menjadi tulisan. Kalau hanya “keset” , bisa berarti kèsèt maupun kêsèt (malas). Ini masalah diakritik dan fonetik.
Tadi saya cek di aplikasi Bausastra W.J.S. Poerwadarminta, penulisannya “kesed”. Cara melafalkannya ya kèsèd dan kêsèt, juga kêsêt (Indonesia: kesat) tergantung hendak membicarakan apa.
Setelah ada ponsel ber-SMS, dan kemudian WhatsApp, dengan tombol ketik bertanda baca, banyak orang Jawa tak peduli “è” dan “é”. Alasannya: repot, menulis kok pakai banyak aturan. Ada juga yang bingung, “Emang ada bedanya?”
Yah, perjalanan zaman. Pasti ada yang berubah. Majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat juga tak menerapkan “è” dan “é”, namun masih membedakan “d” dan “dh” sehingga ada kata “redhaksi“. Ini serupa membedakan “wedhi” (pasir) dan “wedi” (takut).
Kalau “yo wes” dan “wes ben“? Dalam bahasa tulis sering muncul. Artinya terjadi perubahan dari “wis” yang diucapkan “wés” kecuali dalam dialek Tegal dan Banyumas yang tetap “i” penuh. Tentang “wis”, penulisan yang baku dahulu adalah “wus” — mungkin merujuk aksara Jawa, seperti “punika” yang dilafalkan “menika” (baca: meniko).
Maaf jika tulisan ini membingungkan, dan sama sekali tak menarik, bagi Anda yang bukan orang Jawa. 🙏
2 Comments
Saya tidak keset (malas) dan keset (garing lan atos) lho, Paman.😁
Bagooosss👍