Korea dulu seperti Indonesia: melarang rok mini, rambut gondrong, dan rock n'roll. Kini Korea jadi kiblat budaya pop.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Minuman air tapai Kooksoondang Makkoli dan Hallyu di Indonesia

Ramai perbincangan di Twitter tentang perseteruan dua orang gara-gara salah satu pihak dianggap menghina idola K-Pop mungkin mengherankan bagi orang angkatan lawas. Masa sampai segitunya, ada ancaman melapor polisi dan menghambat karier ayah dari lawan?

Ya bisa. Fandom dan fanatisme terhadap pujaan, lalu berbuah konflik, bisa berlaku untuk bidang apapun, termasuk kekaguman terhadap tokoh penggerak massa. Tetapi ketika “cuma menyangkut K-Pop” dianggap aneh.

Saya teringat Korea, tentu Selatan, karena selain yang kemarin ramai di Twitter juga lantaran melihat minuman Korea kegemaran anak muda. Kooksoondang Makkoli. Seorang ibu Jawa berkomentar, “Apa-apa kok Korea. Banyu tapΓ© waΓ© Korea.” Air tapai saja Korea.

Begitulah Hallyu atau Gelombang Korea. Supaya lebih jelas sila baca artikel di Melekmedia (2019).

Gelombang ini tidak tiba-tiba muncul seperti tsunami. Hallyu adalah hasil perencanaan yang boleh disebut strategi kebudayaan.

Buku Korean Cool karya Euny Hong

Lalu saya pun teringat buku terjemahan yang saya baca 2016: Korean Cool, karya Euny Hong seorang jurnalis dan penulis Korea-Amerika kelahiran New Jersey dan masa bocah hingga remaja bermukim di Seoul.

Buku Korean Cool karya Euny Hong

Peran pemerintah Korea sangat penting dalam mencapai posisi mondial saat ini, tak hanya dalam manufaktur tetapi juga gaya hidup. K-Pop dan drama Korea adalah contoh. Pemerintah sangat memahami kultur bangsanya, termasuk etos kerjanya, dan kebutuhan akan identitas nasional yang kuat. Maka dalam teknologi dan hiburan, menurut Hong, Korea tidak harus menjadi yang pertama sebagai pelopor, tapi setelah itu harus menjadi si nomor satu.

Memang mengembangkan manufaktur yang tangguh butuh SDM. Tetapi apakah negara harus membatasi jumlah sarjana karena pendidikan adalah hak rakyat?

Buku Korean Cool karya Euny Hong

Pendidikan tinggi adalah hak bagi rakyat, dan negara, termasuk Indonesia, harus menjalankan amanat untuk mencerdaskan bangsa. Bahwa gelar kesarjanaan ternyata hanya menarik untuk nama mempelai dalam undangan pernikahan, dan melamar pekerjaan, tak perlu didukung literasi dan kelebihan kognitif, itu sih soal lain.

Buku Korean Cool karya Euny Hong

Hanya dengan disiplin kuat, yang bagi orang luar seperti seperti spirit bushido Jepun, artis dan manajemen K-Pop bisa mencapai hasil: tak hanya dikenal dunia namun juga mewarnai dunia. Kolaborasi Coldplay dan BTS hanyalah bukti pengukuhan tambahan. Memang penggemblengan artis K-Pop keras bahkan kejam. Calon artis hidup sangat terprogram. Pencetakan bintang butuh waktu tujuh tahun. Artinya, itu investasi mahal.

K-Pop, drama, fesyen, dan tata rias, plus kuliner Korea, menjadi sebuah isme. Citra maskulin era lama untuk artis musik cowok adalah barang usang. David Bowie sudah memulai pada 1970-an di Barat, bahwa identitas gender secara visual boleh dibaurkan, namun gaungnya tak sampai menyusup ke perkampungan di Indonesia. Nah, untuk K-beda. BTS dan boy bands lain cuek dengan sorotan miring ihwal gaya transgender.

Buku Korean Cool karya Euny Hong

Maka di Indonesia bisa saja terjadi keterbelahan: cewek penggemar ketampanan cowok K-Pop bisa saja anti-LGBT. Bagi penggemar, pesona para idola adalah satu hal, dan konservatisme masyarakat terhadap isu LGBT adalah hal lain.

Hallyu memang bisa bikin bingung orang lama. Misalnya keheranan wong lawas terhadap cewek berbusana tertutup yang menyimak Black Pink dan girl bands lain, apanya yang mau ditiru dari gaya busana artis Korea selain makeup?

K-Pop saat ini adalah hasil pembalikan dan perjuangan keras. Pembalikan, karena dahulu, 1970-an, Korea melarang rambut gondrong, rok mini, dan musik rock Barat.

Kalau perjuangan? Ketika mereka melihat budaya pop sebagai peluang, pemerintah pada 2000-an bikin semacam Bekraf-nya Jokowi, tapi dengan anggaran besar. Untuk menyerbu pasar musik di Jepang, musuh bebuyutan, mereka memakai lagu berlirik Jepun. Siapa para pencipta lagu? Musisi Swedia. Koreografer? Orang-orang dari pelbagai negeri.

Demikianlah saudara dan saudari. Maka terimalah Hallyu kalau memang suka. Kalau tidak? Bertoleransilah. Karena kelak juga memudar, digantikan hal lain. Tak usah meniru pemerintah Cina, membatasi artis cowok feminin di televisi agar pria Tiongkok tetap maskulin.

Buku Korean Cool karya Euny Hong

  • Judul: Korean Cool, Strategi Inovasi di Balik Ledakan Budaya Pop Korea
  • Penulis: Euny Hong
  • Penerjemah: Yenni Saputri
  • Penerbit: Bentang, Yogyakarta (Cetakan pertama, 2016)
  • Tebal: xx + 284 halaman

9 thoughts on “Apa-apa kok Korea

  1. Konten panjang nan komprehensif, mencerahkan saya yang buta K-Pop. Jadi tahu Hallyu dan lain-lain. (Sebelumnya dari banyak hal yang disebut di konten itu saya hanya tahu Black Pink, David Bowie, Coldplay, BTS/tapi kolaborasi Coldplay dengan BTS belum pernah tahu).

      1. Saya pengin kadang bisa seperti Paman, bikin konten mencerahkan, atau berbagi untuk menambah pengetahuan pembaca blog, tapi ternyata sampai hari ini masih belum mampu.

        Hingga sekarang saya cuma bisa konten yang “sibuk dengan diri saya sendiri”, termasuk bongso pamer.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *