Penyebar hoaks merasa sebagai korban, tapi ogah mengecam penyampai awal kalau sehaluan.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Masalah hoaks bukan pada yang bikin tapi yang nyebarin

Soni Tingwe bersungut-sungut, “Puasa ama abis Lebaran sama aja. Hoaks dan fitnah tetep beredar. Gimana nyetopnya ya, Oom?”

“Nggak ada yang bisa. Ini soal alam pikir, Son. Celakanya penyebar hoaks, kabar bohong, dan fitnah merasa sebagai korban tanpa mau belajar supaya nggak kesandung lagi. Marah ke orang yang nyebarin, kalau sehaluan, juga nggak. Lain kalo berseberangan,” jawab Kamso.

“Kalo bukan isu yang menyangkut haluan politik?”

“Sama aja, Son. Misalnya soal kesehatan. Apa yang sangat ditakuti atau yang paling diharapkan, itu yang dipercaya. Dalam isu kesehatan, info yang disukai adalah solusi yang gampang mengatasi penyakit. Tentu nggak semua tip sederhana itu hoaks.”

“Kalo soal haluan politik, beda dong, Oom!”

“Sama. Tapi lebih ke kelompok. Apa yang dianggap ancaman terhadap kelompoknya, atau menjanjikan kejayaan buat kaumnya, itu yang dipercaya.”

“Tanggung jawab yang bikin tuh!”

“Siapa yang bikin kadang susah dicari. Tapi siapa yang nyebarin pertama, belum tentu bikin, bisa dilacak. Kalo kabar salah, beda lagi. Biasanya yang bikin berita, karena jelas apa dan siapanya, akan meralat.”

“Lantas kalo disebarin ternyata hoaks, fitnah, yang nyebarin santai aja tuh, Oom.”

“Sepanjang mereka nggak dirugikan ya santai aja. Kan yang difitnah pihak lain?”

“Ngeselin. Di RT saya penyebar hoaks setelah ditegur dengan bukti klarifikasi, bisa bilang itu buat kewaspadaan aja. Atau malah bilang nggak usah dibahas. Lah dia yang share kok lepas tangan.”

“Itulah kaum semprul sontoloyo. Ada di semua kubu. Menuju 2024 tambah rame. Liat aja pengalaman Pilpres 2014 dan 2019, sama Pilgub DKI 2017. Tali silaturahmi rusak jadinya.”

2 thoughts on “Masalah hoaks bukan pada yang bikin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *