Pardi Kalem, pria dengan julukan untuk singkatan yang dia cuekin, yaitu kayak lembu, rasan-rasan, “Kenapa ya Mas, banyak orang suka marah-marah di medsos?”
“Soalnya ada saja hal yang bikin marah. Misalnya penipuan uang dalam jumlah miliaran, kayak kasus Indra Kenz dan Doni Salmanan atau DNA Pro. Atau tipuan asmara demi uang dengan jebakan seksual. Wajarlah,” jawab Kamso.
“Lho kalo itu jelas. Yang saya maksudkan itu nggak jelas alasannya, cuma nyerang sana-sini, bahkan pada bulan puasa. Malah pake fitnah pula.”
“Oh, yang politik ya? Emang udah bawaan bayi kali.”
“Yang anti-pemerintah, anti-Jokowi, anti-Anies, anti-Ganjar, ada saja yang suka marah. Ada juga yang isinya ledekan buat mancing kemarahan lawan. Atau nggak jelas antisiapa, pokoknya pake alasan agama lalu marah-marah. Kalo bawaan dari lahir, apa hepi hidup dengan marah mulu?”
“Mungkin saja. Justru di situ kebahagiaan diperoleh tanpa peduli waktu dan cuaca bahkan saat Ramadan kemarin.”
“Waktu Ramadan kemarin, jumlah orang marah tanpa alasan jelas seberapa banyak ya, Mas?”
“Kalo soal sentimen negatif buat isu apapun, ada alat ukurnya buat medsos. Tinggal dibandingkan aja sebelum dan selama puasa. Lalu sebulan Mei ini juga diukur.”
“Kalo ternyata selama Ramadan kemarin banyak orang marah, sama dengan bulan lain, gimana Mas?”
“Tanya psikolog sosial dan orang yang paham agama dong. Kenapa ada orang suka berbagi energi negatif dan ada orang lain yang menikmatinya, kalau perlu setelah terpapar akan berbagi pula.”
¬ Gambar praolah: Shutterstock
2 Comments
Seperti komen saya dalam PS (posting sebelumnya) : itulah gunanya medsos….
Tetapi sesungguhnya, dalam soal itu saya tak kalah heran/bingung dibanding Mardi kayak lembu (Kalem). Kok bisa banyak orang ndembik begitu di medsos — dan sebagian dj antara mereka adalah kawan saya.
Mereka butuh penyaluran energi negatif, termasuk di grup WA, FB, dan Twitter. Kalo gak gitu bisa sesak dadanya menahan geram.