Kemarin saat memotret set boks CD rock ballads saya jadi teringat satu hal: stiker lunas pajak pertambahan nilai (PPN). Sepintas stiker ini mirip pita banderol bungkus rokok. Bedanya, banderol rokok itu adalah cukai, bukan pajak, yaitu pungutan terhadap konsumsi barang yang perlu dikontrol, misalnya produk tembakau dan minuman beralkohol.
Stiker lunas PPN untuk kaset dan CD musik, kemudian VCD dan DVD video, muncul pada 1988 setelah Indonesia ikut konvensi hak cipta. Sebelumnya, para perekam lagu asing adalah pembajak. Merek kasetnya bisa Aquarius, Yess, AR, King’s, Saturn, Hin’s, Billboard, Prambors, Team Records, dan seterusnya.
Mereka bisa merekam album maupun kompilasi artis luar sesukanya. Beda merek bisa menerbitkan album yang sama, setidaknya pada sisi A kaset. Sisi B bisa diisi grup lain atau kompilasi.
Kaset C-60 itu bolak-balik 60 menit. Merek kaset (bukan merek perekam) yang top misalnya Maxell, BASF, dan TDK — kalau Sony, Scotch 3M, Agfa, dan Philips tak pernah dipakai di Indonesia. Kaset yang diisi satu album, dari mengopi piringan hitam maupun CD, selalu menyisakan ruang. Sisa itu oleh perekam diisi bonus.
Setelah era pembajakan tamat, dan kaset musisi luar menjadi produk resmi, durasi kaset tak harus 60 menit — hal serupa terjadi pada kaset musik dalam negeri yang juga berstiker PPN. Saya membayangkan, duplikator kaset legal lebih canggih. Era awal kaset bajakan, kabarnya, masih menggunakan banyak tape deck untuk menggandakan lagu, sampai kemudian ada duplikator berkecepatan tinggi.
Kembali ke stiker tanda lunas PPN, pemerintah sudah menghapuskannya pada 2015 (¬ Bisnis.com).
Jadi, kalau Anda punya kaset atau CD lama, dan masih ada stiker PPN, berarti Anda menyimpan artefak. Benda bersejarah, wakil dari sebuah era, dalam industri musik di Indonesia.
5 Comments
Bersaing dengan Aquarius, Atlantic Records dll yang gede, di Solo kala itu ada As Recods (atau AS Records, saya lupa).
Pembajak kecil itu punya toko kaset yang dilengkapi banyak tape deck untuk konsumen yang ingin mendengarkan suara kaset yang hendak dibeli. Satu-satunya di Solo, dan saya merasa keren bila ke toko tersebut kala itu.
Oh di jalan apa itu, Lik Jun?
Jl Sugiyopranoto, sebelah timur Pura Mangkunegaran, dan sebelah barat (sangat dekat) Kusuma Sahid Prince Hotel (KSPH).
Mungkin Mas Zam pernah tahu juga. Atau mungkin tidak😁 Tergantung usia.
Saat itu kayaknya saya belum berkuliah, sebelum 1982, kalau ke sana dengan kakak lanang.
Kata teman yang wong Solo, nama si pemilik Widyo, teman SMA dia