“Kesannya keren, gitu. Kita tinggal nunggu sopir di depan lobi sambil ngetwit,” kata seorang perempuan muda yang bercita-cita memiliki sopir tapi tak merangkap sebagai suami.
Jangan tersenyum dulu. Itu kutipan sepuluh tahun silam, dalam posting 2012. Kini sopir pribadi makin menjadi kebutuhan, terutama di kota besar yang kemacetan lalu lintasnya parah. Dalam posting itu saya menyentil persepsi orang terhadap mobil yang layak disopiri. BMW seri 3, misalnya, untuk dikendarai sendiri.
Soal kenyamanan mengemudi, yang tahu sopir. Tetapi kenyamanan menumpang ya penumpang yang tahu. Nyaman bagi sopir belum tentu nyaman bagi penumpang. Itulah kenapa reviu mobil sejak zaman media cetak hingga era video medsos juga membahas kenyamanan penumpang.
Apakah lansia harus pakai sopir? Saran gerontolog dan psikolog, kalau masih suka dan tak membahayakan ya silakan saja.
4 Comments
Termasuk sopir (langganan) saya dan istri, yang kami pakai jika keluar kota naik Jazz lumayan tua, buatan 2013 atau 2014.
Kalo saya dulu berangkat kerja seiring diantar istri. Jadi saya bilang, berangkat dan pulang diantar sopir ayu, terpelajar, sarjana 🙊🙈
Saya dulu juga sempat, bila ke mal, disopiri wanita pengusaha karena yang nyetir istri.😬
Belakangan dia ogah nyetir dengan alasan capek karena sejak pagi sampai petang ngurusi kedai. Akhirnya kalau ngemal naik taksi online.😁
Tapi itu semua kisah sebelum pandemi. Setelah pandemi, berdua ke mal maupun tempat-tempat lain bisa dihitung dengan jari.
Para suami yang mbagusi 🙈🙊