Setiap kali menjumpai teks dalam bahasa Inggris pada sebuah kemasan, tanpa disertai bahasa Indonesia, untuk jenama lokal maupun asing yang dibuat di Indonesia, saya teringat orang-orang yang saya kelompokkan menjadi tiga.
Pertama: anak-anak. Bahkan anak bilingual pun ada yang menanyakan soal ini, kenapa harus dalam bahasa Inggris, bukannya kita punya bahasa Indonesia, kenapa tak digunakan?
Kedua: orang-orang Indonesia bilingual bahkan multilingual dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang bagus, yang dalam tebakan saya sama bagusnya dengan bahasa asing yang mereka kuasai. Biasanya mereka pendidik dan atau peneliti, pernah lama di luar negeri, bahkan mengajar di sana. Pertanyaan mereka serupa anak kecil.
Ketiga: orang-orang asing yang dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan sebelum ke Indonesia mereka sudah belajar bahasa Indonesia. Mereka itu umumnya pendidik dan peneliti, juga orang yang bekerja pada lembaga nirlaba termasuk lembaga kegerejaan. Pertanyaan mereka ya seperti anak kecil, tetapi berbau gugatan.
Bagi saya pertanyaan mereka merepotkan untuk saya jawab. Saya ingat, dahulu kala, saat mahasiswa, ditanya seorang sinyo Amrik peserta Volunteers in Asia, sehingga dalam canda VIA sering saya sebut operasi CIA seperti halnya Peace Corps — padahal bukan. Dia menanya kenapa kamus bahasa Indonesia menggunakan atribut nomina, “Bukankah Anda semua punya kata benda?”
Banyak sekali pertanyaan dari ketiga kelompok itu ihwal penggunaan bahasa Inggris. Di luar kelompok anak-anak, para penanya sering membandingkan Indonesia dengan Jerman, Prancis, Finlandia dan negeri Nordik lainnya yang sangat percaya diri dengan bahasa nasional mereka.
Biasanya dulu saya punya dalih penghindar: sebagai nasion baru, yang merdeka setelah Perang Dunia II, tak terhindarkan kami menjadi berdwibahasa, Indonesia dan Inggris acakadul. Pada masa transisi pasca-Proklamasi, jamak orang berbahasa Indonesia dan Belanda, termasuk Bung Karno.
Dengan pongah saya contohkan naskah Proklamasi menggunakan bahasa Indonesia. Coba cari serapan kata dari Barat selain kata “proklamasi”. Untung mereka sopan, tak menyoal kata “Indonesia” dari mana.
Tentang nasion, yang sebenarnya merupakan kesepakatan karena kesadaran, bukan mendadak turun dari langit, ada yang menyoal kenapa Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar bisa — kalau Thailand beda kasus, belum pernah dijajah. Sedangkan Malaysia, yang beraksara Latin, bangga dengan bahasa nasionalnya, tetapi berdwibahasa dengan bahasa Inggris.
Saya tak antibahasa asing, dan menerima kenyataan bahwa di luar dokumen kenegaraan maka berdwibahasa cincai saja. Info produk industrial dalam kemasan dan lembar panduan memang sudah berbahasa Indonesia karena diatur hukum, tetapi barang “nonpabrik besar” — dari kedai rumahan untuk Gofood sampai toko roti dan busana siap pakai — ada saja yang berbahasa Inggris.
Apakah Anda pernah merasa direpoti ketiga kelompok tadi?
2 Comments
Untunglah saya tidak pernah direpotkan tiga kelompok itu, termasuk kelompok pertama, terkhusus cucu-cucu sekarang.
O ya tentang bahasa, saya malah NPL ini😁 https://blogombal.com/2013/01/30/apa-artinya-enyah/
Semoga nanti mengalami direpoti mereka, termasuk cucu, supaya bisa nabung jawaban. 🙈