Karena tak paham urusan dapur, saya menanya istri, cobek dan muntu itu kapan belinya dan di mana. Ternyata dia tidak tahu. Kok bisa?
Ternyata cobek dan muntu itu adalah bekal dari ibunya setelah kami menikah dan dia pindah ke Jakarta. Soal usia si barang, dia bilang lebih tua dari putri sulung kami.
Cobek dan muntu adalah sisa peradaban zaman batu yang masih kita pakai untuk menumbuk bumbu. Pelbagai bangsa mengenalnya. Saya membayangkan, dalam sambal yang kita makan ada kristal gerusan batu. Mungkin itu yang bikin enak.
Tentang cobek dan muntu, teman saya sekeluarga dulu pernah keracunan, sakit perut tiga hari lebih setelah nganyari alat masak. Ternyata hitamnya cowèk dan munthu itu karena cat. Terkutuk betul itu si perajin.
6 Comments
Kalau cobek dan munthu dari kayu, beda sensasi sambalnya, ya, Paman?
Mungkin. Kayaknya saya blm pernah.
Baru saja anak saya bertanya, “ada ngga sih ulekan otomatis?”, saat melihat emaknya mengulek sambel untuk sarapan :))
Ada: blender. Tapi beda rasa, apalagi untuk sambal terasi 😁
loh paman tyok ternyata masih rajin ngeblog??? 🙌🏽 saya tahu blog ini karena baru saja blogombal mengikuti linimasa. padahal linimasa sudah ditinggal saya
Saya ngeblog lagi akhir 2019 setelah rehat sekian tahun. Apa kabar? 🙏😇
https://twitter.com/blogombal/status/1270432633244266503?t=RlVnD7q7cbLzARoJUDgdPg&s=19