Kalau duku saja makin berkurang penggemarnya, bagaimana nasib langsat, kokosan, dan kepundung?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Buah duku kurang disukai milenial perkotaan?

Dulu banget, saat makan duku ( Lansium parasiticum) di kantor, sejawat senior saya bilang bahwa anak kecil tidak suka duku. Anaknya, yang bukan bocah, tidak suka duku karena pengalaman pertama: mengunyah biji hijau tua yang pahit.

Anak saya doyan dulu sebatas mau, tapi hanya beberapa butir. Anak-anak teman saya juga kurang suka. Ortunya bilang lidah generasi milenial maupun Z berbeda dari generasi ortu. Semoga dia salah.

Dulu duku sampai jadi lagu, misalnya dalam “Dhondong Apa Salak” dan “Papaya Cha Cha”, mungkin karena pilihan buah di pasar terbatas. Hanya ada buah lokal. Saya tak tahu apakah semua duku palembang yang dijual di Jabodetabek berasal dari Sumsel.

Buah duku kurang disukai milenial perkotaan?

Misalnya benar duku kurang disukai kaum belia kota, entah bagaimana nasib langsep atau langsat, kokosan, dan kepundung (Baccaurea racemosa) yang memang tak seenak duku. Mungkin ketika berbuah pun tidak dipanen karena takkan laku.

Saya lupa kapan terakhir kali makan langsat dan kepundung. Kalau kokosan, saya memang tidak doyan. Tapi waktu kecil saya pernah melihat kertas folio satu rim bermerek Berlian Kokosan dengan gambar mewakili nama. Paduan nama yang aneh.

4 thoughts on “Duku pahit? Emoh!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *