Dulu banget, saat makan duku ( Lansium parasiticum) di kantor, sejawat senior saya bilang bahwa anak kecil tidak suka duku. Anaknya, yang bukan bocah, tidak suka duku karena pengalaman pertama: mengunyah biji hijau tua yang pahit.
Anak saya doyan dulu sebatas mau, tapi hanya beberapa butir. Anak-anak teman saya juga kurang suka. Ortunya bilang lidah generasi milenial maupun Z berbeda dari generasi ortu. Semoga dia salah.
Dulu duku sampai jadi lagu, misalnya dalam “Dhondong Apa Salak” dan “Papaya Cha Cha”, mungkin karena pilihan buah di pasar terbatas. Hanya ada buah lokal. Saya tak tahu apakah semua duku palembang yang dijual di Jabodetabek berasal dari Sumsel.
Misalnya benar duku kurang disukai kaum belia kota, entah bagaimana nasib langsep atau langsat, kokosan, dan kepundung (Baccaurea racemosa) yang memang tak seenak duku. Mungkin ketika berbuah pun tidak dipanen karena takkan laku.
Saya lupa kapan terakhir kali makan langsat dan kepundung. Kalau kokosan, saya memang tidak doyan. Tapi waktu kecil saya pernah melihat kertas folio satu rim bermerek Berlian Kokosan dengan gambar mewakili nama. Paduan nama yang aneh.
4 Comments
saya suka duku, paman.. saya malah belum pernah makan langsat, langsep, kokosan, dan kepundung..
Yang paling enak duku.
Di Salatiga wkt saya kecil banyak langsep dan pundung.
Di rumah Salatiga juga ada pohon langsep selain rambutan dan gandaria.
Sakjane masalahnya di biji hijau tua yg pahit jika tergitit itu, bukan buah dukunya terutama jika dapat yang manis (kadang ada duku kecut). Orang dewasa seperti saya juga anyel kalau nyokot sang biji.
Hahahaha ternyata…