Merujuk tajuk, begitulah alam pikir para penyumbang sampah di tempat orang, tapi mereka tidak mau dibilang buang sembarangan karena merasa selektif, tak membuang sampah di tengah jalan. Yang utama dalam seleksi adalah bukan di rumah sendiri. Setelah itu ya mencari tempat yang sudah diisi para pendahulu. Atau jika kreatif ya menjadi pionir.
Jangan libatkan empati di ruang publik. Itu prinsip sebagian orang di negeri permai yang masyarakatnya ramah dan saling peduli ini. Di ruang privat, yaitu rumah, buatlah standar tinggi untuk kebersihan, tapi jangan diterapkan di tempat umum.
Lebih dari sekali saya melihat orang, sendirian maupun berboncengan, dari sepeda motor membuang sampah di lahan kosong. Artinya dari rumah mereka membawa tas keresek berisi sampah.
Anda yang memiliki lahan kosong pasti mengalami. Begitu satu sampah buangan dibiarkan, sampah berikutnya segera menyusul. Tanpa komando satu gerakan satu penyampahan.
Kepercayaan mereka terhadap pemilik lahan tinggi. Mereka menghibahkan, bukan menitipkan, dengan amanat pemilik lahan akan membereskan. Termasuk membayar petugas kebersihan.
Tulisan maklumat pemilik lahan juga sering kita lihat. Sampai ada yang membawa nama Tuhan, bahwa para semprul sontoloyo penyampah akan dilaknat oleh Tuhan. Tapi sebagai orang beriman, para penyampah yakin bahwa Tuhan itu Maha Pengampun.
Dalam kasus papan maklumat di sebuah ruas jalan yang sudah likuran tahun tak saya lewati ini, pada foto pertama, pemilik lahan menerapkan aturan sepihak: denda Rp500.000 tanpa rujukan hukum adat maupun peraturan RT apalagi perda. Tuan Lahan atau Ndoro Sitรจn alias landlord sudah kehabisan akal, hanya tersisa kesal nan pejal.
Dari sisi para pembuang secara umum, mungkin tak berlaku untuk foto, saya mendapati banyak rumah petak kontrakan yang tak punya bak sampah kolektif. Bahkan saya pernah mendapati, beberapa rumah baru berjejer pun tak punya bak sampah, sehingga kantong keresek berisi sampah dicantelkan di pagar.
Arsitektur yang baik, dengan maupun tanpa pelibatan wastuwidyawan, selalu memikirkan aspek sosial dalam seni bina ruang kehidupan apapun.
4 Comments
oh, jangan salah.. orang Berlin ini kalo membuang sampah yang besar, seperti perabot, daripada bayar petugas kebersihan untuk mengangkut, memilih membuang ke hutan di pinggiran kota.. ๐
atau paling gampang ya menaruh di pinggir jalan, dengan kedok “zu verschenken” alias “untuk dibagikan, boleh diambil gratis”.. praktik zu verschenken ini biasanya orang memberikan barang layak pakai yang masih bisa digunakan..
Saya pernah lihat di Bonn, Solingen, Koln, dan Stuttgart gitu. Buang perabot utuh masih bagus di pinggir jalan
Jika benar ada pelanggar, apa ya aturan sepihak denda Rp 500.000 itu bisa dieksekusikan eh diterapkan ya?
Saya belum cek ๐