Johan Sebagian Mbah tak turun dari sepedanya, hanya bercagakkan kaki kiri, pagi tadi sudah mengantre nasi uduk, sekalian menyodorkan topik perusak rasa sarapan.
“Lieus Sungkharisma di MK pengin paslon sepuluh atau berapalah. Kalau presidential threshold direvisi bisa ngurangi oligarki, paslon pilpres nggak cuma dua, polarisasi berkepanjangan bisa dicegah. Gimana, Mas?” dia menanya Kamso.
“Terserah hakim MK. Udah berapa kali orang ngajuin soal itu?” jawab Kamso.
“Kalo paslon banyak kan orang punya tambahan pilihan, nggak cuma pilih A atau B, tapi ada lainnya.”
“Mungkin. Tapi juga bikin bingung, ngenalin calon lebih dari lima apalagi hafal nomor urutnya itu susah.”
“Enaknya gimana?”
“Ndak tau.”
“Ngarang aja, Mas. Sambil nunggu antrean.”
“Taruh kata presidential threshold bisa turun jadi sepuluh persen dari dua puluh persen, electoral threshold mestinya dinaikin supaya jumlah partai di DPR, misalnya dari empat persen jadi sepuluh persen. Cuma misal.”
“Nggak seru kalo partai di Senayan dikit.”
“Kalo partai di DPR lebih dari lima, misalnya sembilan sepuluh partai, pemenang pemilu akan kalah suara kalo lawan bersatu, kecuali dia ada teman koalisi yang punya kursi banyak. Selain itu, presiden jadi repot harus berkoalisi dengan banyak partai, sediain kursi menteri dan lainnya, supaya nggak diganggu di parlemen.”
“Repot amat ya demokrasi?”
“Namanya juga bikinan manusia.”
“Kalo ogah repot pake khilafah aja, Mas? Hahahaha.”
¬ Gambar praolah: Shutterstock
4 Comments
saya kira sistem politik Indonesia sudah ruwet, ternyata di Jerman lebih ruwet. bedanya: Jerman aturannya ga berubah-ubah, dari dulu ya begitu.. cuma ya jadi keliatan bertele-tele.. 😅
Wang sinawang 😂
Johan Sebagian Mbah, entah yang sebagian lagi Paman, atau sebagian lagi Om? Entah apanya Johann yang komponis, atau apanya Sebastian yang vokalis Skid Row?
Siapapun dia, tolong Paman eh Om Kamso kasih tau dia, berapapun jumlah pasangan calonnya nanti, kulo mboten badhe nyoblos.
Jangan golput, kata Oom Kamso