Tidak baik sambat. Orang lain mungkin lebih berat masalahnya tapi lebih tabah.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Kurir Yellow Fit Kitchen Catering

Pengantar makanan itu bertolak dari Kelapa Gading, Jakut. Menurut saya itu jauh dari area saya. Dia bilang 18 km. Saya cek di peta, itu benar. Lebih dekat jarak Tugu Pancoran, Jaksel, ke rumah saya, berselisih dua kilometer. Kalau ke PIM, Jaksel, dari rumah saya 26 km. Sama dengan jarak ke kantor saya dulu di Jatibaru, dekat Tanahabang, Jakpus. Kantor saya dulu di Jalan Panjang, Kebonjeruk, Jakbar, malah sejauh 30 km. Lalu?

Abaikanlah semua angka. Nyatanya saya tetap menganggap Kelapa Gading jauh karena saya tak familiar, jarang ke sana, padahal bukan terra incognita.

Kelapa Gading sekelompok dengan aneka jarak tadi, yang jika menyangkut kantor kadang membuat gamang untuk pulang, dan hati memberat untuk berangkat.

Tentang jarak dengan tempat kerja, setiap orang punya drama masing-masing. Sangat subjektif. Di Jatibaru, dengan tarif tol lama, pergi pulang habis Rp60.000 karena melewati tiga jalan tol dan tiga tarif. Dengan Blue Bird tanpa tol setidaknya habis Rp130.000. Mahal.

Kalau dengan campuran moda angkutan umum, dari rumah harus naik ojek ke Pinangranti, ganti Transjakarta, sambung kereta api di Cawang, sambung ojek lagi dari Gondangdia ke Jatibaru. Paling mahal ongkos ojek.

Selain jarak, ongkos, dan tenaga, kesemuanya tadi juga menyangkut kesehatan mental. Sejawat saya sudah tiba di Citayam, Bogor, naik kereta, saya naik Transjakarta belum sampai TMII. Setibanya di Pinangranti naik ojek.

Kembali ke kurir katering, saya bilang alangkah repotnya, mengantarkan ke belasan alamat dari Jakut, sehari dua kali untuk makan siang dan malam. Dia hanya tertawa kecil.

“Bapak tinggal di mana?” tanya saya.

“Di belakang, Pak.”

Saya di Jalan Anu II, dia di Jalan Anu XII. Dari rumah dia Kelapa Gading, lalu beredar, kemudian ke tempat kerja lagi, ambil makanan, kemudian mengantar ke antara lain tetangga.

Saya malu. Dia tidak sambat. Mungkin drama dia berbeda. Bisa jadi lebih berat untuk skala saya.

14 thoughts on “Klise: Jauh dekat tergantung persepsi

  1. Jakarta ini memang bikin persepsi jarak jadi kabur. yang “sepertinya dekat”, ternyata 30 KM, sejarak dengan Solo-Klaten.. 😅

    di sini, jarak tempuh dari rumah ke kantor 6,5 KM kalo naik kendaraan pribadi, waktu tempuh 18 menit. naik angkutan umum (kereta) agak muter tapi waktu tempuh 22 menit. kalo jalan kaki, jarak tempuh lebih pendek, jadi 5,9 KM, tapi waktunya jadi 1 jam 13 menit. bersepeda jaraknya sedikit lebih jauh (6,8KM) dan waktu tempuhnya 25 menit.

    orang sini, waktu tempuh lebih dari 20 menit dianggap “jauh”.. 😅

    1. Saya japri lokasi via japri lbh simple 😂

      Tapi menarik lho soal cari alamat sebelum ada Google Maps dan ketika buku peta bikinan orang Jerman belum ada. Saya bbrp kali punya itu diembat orang. Nanti saya posting. 😇

      Orang yang kerja lapangan di masa lalu banyak kenangan cari alamat dan orang. Ada risiko keselamatan tentu tapi ya harus ditakar seberapa kita sanggup. Tapi nggak buat posting, bikin malu 🙈

  2. Enam tahun saya Solo-Yogya, 60an km, naik bus trayek Surabaya-Yogya, terakhir Rp 10 rebu dengan kode KL (kartu langganan) ke Mas Kondektur. Turun Janti, sambung bus Trans Jogja Rp 3.500.

    Pergi-pulang sekitar Rp 30 rebu (termasuk ongkos parkir trail di titipan motor Terminal Tirtonadi Solo).

    Kadang2 naik trail, saat itu KLX-150, tapi kalo konangan istri dimarahi : ayah ki wis tua, dieman-eman awake, mengko yen tibo neng ndalan piye??

      1. Ada kartu langganan bus ekonomi Mira atau Sumber Kencono (belakangan ganti nama Sumber Selamat dan apalagi saya lupa). Kalau nggak bawa kartunya tinggal bilang KL saat ditarik uang oleh Mas Kondektur.

        KL bisa digunakan sejauh Srby-Yogya dan sebaliknya, potongan tarif berbeda2 tergantung jarak.

        Naik trail kalah cepat oleh Sumber atau Mira, atau Eka (Patas) krn sopir bus2 itu ngebut, dan berhenti hanya saat menurunkan penumpang/tdk berhenti ambil penumpang di jln.

        Naik trail lbh cepat daripada bus2 bumel Solo-Yogya krn sopir bus2 itu sering berhenti untuk ambil maupun turunkan penumpang di jln, dan bus2nya lemot.😁

        1. Oh bus Sumber Bencono itu.

          Iya bus Solo Yogya lamban.
          Kondekturnya tak spt di bus Solo-Semarang yang mencarikan tempat duduk

          Dalam bus Solo-Yogya dulu, dari Kartosuro sampai Janti saya terpaksa berdiri terus karena kursi digilir penumpang jarak dekat yang saling kenal wajah.

          1. Bus Jatim emang kencang, tapi dulu jadi pelolor bus pohon Natal. Lampunya banyak.

            Saya dulu kalau bertolak malam dari Janti adanya bus Jatim. Dari Solo bus ke Semarang, saya turun di Kalinongko, enam puluh meter dari rumah, Jalan Osa Maliki 50, Salatiga

          2. kekhasan lain bus2 tsb, sopir tidak akan pernah berhenti untuk ambil penumpang setelah keluar dari pintu terminal (Solo maupun Yogya). Kalau mrk ambil penumpang akan dimarahi awak bus bumel, bahkan bisa sampai dipukuli.
            Saya pernah saksikan insiden pemukulan tsb.

          3. Iua, bener.
            Persaingan antarmoda, antarbus, antartaksi, itu keras.

            Angkot CH di tempat saya dulu kalau masuk kompleks di atas pukul delapan dicegat ojek, pernah mau dipukul tapi penumpang bilang karena macet parah di asrama haji sehingga masuk kompleks sudah malam.

            Pada awal Gojek, banyak opal menghalangi ojol yg mau jemput.

            Di dunia jurnalistik? Ketika APM mengundang influencer buat peluncuran dam tes mobil baru, tapi wartawan otomotif blm diundang, nah para jurnalis yang mulia itu protes ke humas APM, atas nama forum, pakai surat.

            Kalau saya jadi orang APM ya pakai rumus padu padan, jurnalis dan influencer dan terutama kreator konten. Kita lihat, di YouTube reviu dan test drive mobil juga motor itu bikinan siapa yang laku.

            Masih di dunia jurnalistik, sekarang pejabat lebih memilih Deddy Corbuzier ketimbang wawancara khusus dengan media berita 😜

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *