Tak semua orang bisa menjadi si serbabisa. Cuma bisa satu hal pun patut bersyukur.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Gitar menganggur di rumah, tak ada yang memainkan

Gitar itu mestinya punya tas tapi entah ke mana. Tersandar berdebu di samping rak buku. Saya juga tak tahu apakah semua senar sudah dikendorkan. Mencoba menyetem? Tak saya lakukan. Kenapa?

Saya nggak bisa main gitar. Pernah belajar waktu bocah tapi tetap buntu. Di rumah cuma saya nggak bisa bermusik, instrumen maupun bernyanyi. Bapak seorang organis. Ibu pemimpin paduan suara, dulu kadang jadi juri lomba nyanyi. Bapak saya oleh Bu Pranawengrum Katamsi diakui sebagai penemu bakatnya. Ibu di waktu muda kadang menyanyi live bareng Bu Prana di RRI Yogyakarta.

Menggambar pun saya jelek. Kalau adik saya memilih seni rupa ITB karena diterima, akan ada tiga anak yang sekolah seni rupa beda perguruan. Satu anak lain memilih arsitektur.

Lantas itu gitar siapa? Putri sulung saya yang waktu kecil pernah ikut konser biola dan senang dapat uang dari pengelola mal. Siapa lagi yang bisa main gitar? Istri saya, tapi entah kenapa setelah menikah tidak genjrang-genjreng lagi.

Dengan kekurangan di bidang seni, dan matematika, plus tidak bisa olahraga permainan, saya tetap bahagia sejak dulu. Padahal kata orang, pintar musik dan jago olahraga itu penting di mata lawan jenis. Cowok nggak bisa main bola maupun basket itu memalukan.

Saya tetap nyaman dengan ketidakbisaan saya di bidang tertentu. Saya mensyukuri hal yang saya bisa.

Meskipun demikian saya selalu mengagumi orang dengan banyak kebisaan, dari seni, sains, olahraga, bisnis, sampai memasak.

8 thoughts on “When my guitar gently embuh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *