Pagi terengah dan ponsel keinginan ayah

Latar sempit sesak, daun, bunga, ponsel cemoohan, disukurin, gaya tua dalam raga berkurang bugar, tapi tetap bersyukur.

β–’ Lama baca 2 menit

Punya halaman sempit dan ponsel sederhana tetap harus bersyukur

“Tuh, bunganya jatuh tengkurap. Nggak kamu foto?” tanya istri saya saat kami ngopi pagi tadi di teras.

Saya pun membungkukkan badan, mengangkat pantat dari kursi yang lengannya sudah lecet berkarat, agar mata tak teralingi tiang. Benar yang dia katakan.

“Entar aja ah. Lagi nggak mood,” kata saya, melanjutkan membaca artikel pendek.

Setelah artikel usai saya baca, saya habiskan kapucino sasetan yang lumayan, lalu mengambil ponsel di dalam rumah. Tapi setelah saya turun dari teras, mata saya terpikat daun alamanda yang tergeletak basah di dekat bak sampah, dan ada juga yang di atas tutup bak. Bunga tengkurap saya abaikan.

Punya halaman sempit dan ponsel sederhana tetap harus bersyukur

Maka saya pun menyingsingkan sarung batik, lalu jongkok, dan memotret daun. Sudah saya sadari lama tapi saat memotret semakin terbuktikan bahwa saya kian dan terus menua. Begitu bangkit dari jongkok, saya pun terengah.

Kebugaran payah perut gendut hanyalah salah satu sebab. Selebihnya adalah kebiasaan orang tua karena saya berasal dari era lama: memotret sambil menahan napas karena dulu dengan kamera manual, dan film ber-ASA (maaf, maksud saya ISO) biasa, 100, rana rendah berisiko menghasilkan jepretan kabur karena kamera bergoyang.

Punya halaman sempit dan ponsel sederhana tetap harus bersyukur

Itulah contoh gaya tua, lupa bahwa fotografi digital dengan setelan otomatis menjadikan segalanya mudah. Bahkan di ponsel pun saya tak pernah menggunakan penyetelan manual.

“Jangan malu pake manual, pabrik udah sediain setting auto,” kata Arbain Rambey lima belas tahun silam dalam sebuah rapat redaksi majalah foto untuk pemula, dengan redaktur tamu antara lain almarhum Kristupa Saragih.

Saya tak malu. Antara lain karena saya bukan fotografer. Selebihnya ya karena dalam urusan tertentu saya tak punya malu.

Saya mensyukuri teknologi imaji digital. Segala hal lebih mudah. Setelah mulai ngeblog lagi, dua pekan lalu saya ingin punya ponsel dengan kamera lebih bagus, responsif, jeda rana singkat, dan seterusnya.

Tapi saya juga berpikir, seberapa itu perlu apalagi penting kalau hanya untuk iseng bahkan sebagian besar jepretan saya hapus, kadang tanpa berpikir, sama impulsifnya dengan saat memotret?

Punya halaman sempit dan ponsel sederhana tetap harus bersyukur

Di tangan saya, ponsel bagus ya tetap menghasilkan gambar yang sama. Lagi pula saya tak punya uang untuk beli ponsel baru, selain itu meskipun dulu kerap membeli ponsel untuk keluarga, saya hanya berganti ponsel kalau rusak atau hilang — yang penting nomor saya sejak 1997 tak berubah. Ketika ada uang pun saya tetap membeli ponsel yang kata orang, “Beli hape kok nanggung, pake cicilan nol persen lagi.”

Saya pernah punya ponsel Cina yang populer di Afrika, yang tak ada di GSM Arena, saya beli dengan cicilan nol persen, mengangsur enam kali. Ketika saya mengeluh ada malware ndableg di dalam, selain puluhan gim, bukan simpati yang saya tuai melainkan disukurin.

Punya halaman sempit dan ponsel sederhana tetap harus bersyukur

Lalu selain ponsel apa yang akan saya ceritakan? Tadi saya sebut disukurin, kini saya mengulangi hal yang pernah saya katakan: bersyukur.

Ya, bersyukur saya punya rumah biasa, dengan halaman sempit, tanaman sekadarnya yang kurang terawat karena saya tidak bisa bertaman, padahal istri saya setiap kali mengurusi tanaman akan gilo oleh cacing dan binatang kecil lain.

Punya halaman sempit dan ponsel sederhana tetap harus bersyukur

Saya bersyukur karena meskipun tak punya halaman untuk berlatih tinju — dengan catatan: misalnya saya hobi boxing alias boksen — saya bisa menikmati tanaman tetangga. Tadi pagi, sambil duduk di kursi kerja, lalu memutar arah hadap ke jendela, rasanya saya punya halaman luas karena melihat pohon tetangga seberang rumah. Seolah tak ada jalan beton yang memisahkan rumah kami karena tak tampak.

Punya halaman sempit dan ponsel sederhana tetap harus bersyukur

4 Comments

Zam Sabtu 8 Januari 2022 ~ 18.19 Reply

saya selalu teringat kata paman, memaksimalkan kekurangan kamera ponsel.. saya juga selalu pakai mode auto kalo motret pakai ponsel.. masalahnya ada di saya, kelebihan ponsel malah membuat foto saya nampak minimal kualitasnya.. 🀣

Pemilik Blog Sabtu 8 Januari 2022 ~ 19.12 Reply

Soal pilihan dan suka-suka aja, dan tergantung untuk apa fotonya πŸ™πŸ˜‡

junianto Jumat 7 Januari 2022 ~ 15.30 Reply

Saya berganti ponsel juga karena rusak atau hilang.

Hilang karena jatuh atau ketinggalan di suatu tempat belum pernah, hilang karena dicopet empat kali πŸ™ˆdalam kurun waktu sekitar 10 tahun.

Pemilik Blog Jumat 7 Januari 2022 ~ 17.14 Reply

Saya kehilangan tiga kali karena jatuh. Pertama dalam angkot. Kedua dalam taksi. Ketiga dicuri orang di kantor saya bersama Macbook Pro 15″ dan BlackBerry.

Jatuh, jadi cacat, entah berapa kali.

Tinggalkan Balasan