Saya bangun pagi dengan riang. Radio belum mati sejak tadi malam. Penyiar cewek ngoceh dengan dialek Jogja, karena memang stasiunnya di sana, tak seperti umumnya radio daerah untuk segmen muda yang penyiarnya ingin menjadi anak Jabodetabek.
Pagi ini cerah. Hangat. Tanpa gerah. Genta angin di depan dapur berkerincing lembut pertanda ada angin berembus pelan.
Pagi hangat membuka tahun. Sekaligus memancarkan godaan bagi saya untuk memotretnya. Era fotografi ponsel telah membombong setiap orang merasa bisa memotret, tak peduli hasilnya jika ditertawakan fotografer.
Godaan saat memotret adalah mencoba memotret berwarna atau hitam putih.
Saat melihat hasil, muncul lagi godaan untuk mengubah biru langit dan sekuntum bunga merah menjadi abu-abu, dalam monokrom hitam putih foto jari acung V dan naikkan jempol, sehingga pendar hangat pagi kekuningan tersarukan, tapi setiap mata paham jika melihat arah cahaya mentari dari samping berarti bukan siang.
Oh, panjang nian kalimat barusan. Baiklah saya hentikan.
Baiklah, di Serengan, Solo, Jateng, pagi tadi juga cerah, dan saya pun enggak gerah.
Hanya, jam 12.40an ternyata gerimis padahal saya agak jauh dari rumah sehingga saya pun resah.
Tersebab, banyak cucian pakaian saya jemur di lantai atas teras rumah.
Nah cuaca kadang tahu sesuai kepentingan kita. Ini saya lagi nyuci, mendung. Kalo hujan yang saya khawatirkan kotak putih jadi rusak, pemulung ogah ngambil