Produsen mi instan mengganti produk cacat

Mengganti Indomie tanpa bumbu kepada konsumen adalah praktik kehumasan wajar. Tapi tak semua produsen mau.

▒ Lama baca 2 menit

Tanggung jawab Indofood di era Chatz Mie

Barusan saya baca kabar, setelah seorang konsumen Indomie protes via Facebook karena dalam kemasan tak ada bumbu, maka Indofood segera mengirimkan produk pengganti sepuluh bungkus.

Bagi saya kabar itu bagus tapi bukan yang pertama. Sembilan belas tahun silam anak saya melakukan serupa. Saat itu dia masih SD, kemasan Chatz Mie tak berisi bumbu. Saya anjurkan dia menggunakan hak konsumen dengan menyurati PT Indofood Sukses Makmur.

Tak sampai sepekan kemudian, malam, saat saya masih di kantor, orang rumah menelepon kedatangan suami istri naik motor sepulang kerja. Mereka mewakili perusahaan meminta maaf kepada anak saya seraya menyerahkan satu dus Chatz Mie.

Mereka bukan anggota staf humas maupun pemasaran, tetapi karena berumah di Jatiasih mereka ditugasi kantornya ke rumah saya, menemui putri sulung kami. Belum era Google Maps di ponsel repot juga mencari alamat, malam pula.

Harga satu dus mi berapa sih bagi Indofood? Tak ada arti ketika diberikan gratis. Tapi sebagai bagian dari praktik kehumasan perusahaan, nilai mi instan yang diantarkan motor pegawai itu sangat berarti. Produsen membuktikan diri peduli konsumen, tak percuma mencantumkan alamat kontak pada kemasan.

Memang perlu birokrasi bisnis yang responsif, apalagi sekarang era media sosial. Dulu saat memimpin sebuah majalah, saya ambil keputusan mengirimkan produk cacat, dengan surat permintaan maaf yang saya tanda tangani, berikut suvenir.

Kenapa? Bagian sirkulasi punya pakem aneh: konsumen harus mengembalikan produk cacat, misalnya buku atau majalah berhalaman tak lengkap, ke kantor sirkulasi wilayah. Ongkir ditanggung konsumen.

Bagi saya, kok sial amat jadi konsumen. Rugi dua kali. Dapat produk jelek masih harus didenda. Saya protes ke orang sirkulasi, jawabannya memang aturannya begitu.

Saya memilih jalan pintas: diskresi. Padahal itu bukan bidang saya, karena tanggung jawab saya hanya konten.

Kepada manajemen saya sampaikan, biaya komunikasi ke konsumen yang dirugikan itu pakai anggaran redaksi. Misalnya tidak boleh, akan saya ambilkan dari uang makan mingguan juga. Kalau masih kurang, akan saya ambilkan dari gaji.

Gagah? Nggak. Saya sudah menghitung, dalam sebulan paling banyak bakal ada lima komplain via surat, faksimile, dan email — saat itu belum ada Twitter. Kalau keluhan melebihi perkiraan, itu jelas tanggung jawab sirkulasi, bukan redaksi.

Setiap pelanggan, yang mendapatkan produk pengganti disertai surat permintaan maaf dan suvenir, pun senang. Mereka merespons melalui surat dan email.

Bagaimana jika ada komplain yang mengaku-aku beroleh produk cacat?

Dari dua puluh paling hanya ada satu. Lebih baik majalah saya dianggap baik tapi bodoh mudah dikecoh ketimbang dinilai pintar tapi suka curang, kikir pula.

Nyatanya saya tak pernah kehilangan uang makan apalagi gaji lantaran melayani pembaca.

¬ Bukan posting berbayar maupun titipan

¬ Gambar praolah: Kaskus

2 Comments

soloskoy Senin 27 Desember 2021 ~ 14.14 Reply

Tak banyak orang, saat menjadi pemimpin, berani melakukan diskresi ala Paman di atas.

BTW untuk resto istri saya, saya mulai terapkan sistem responsif jika ada konsumen komplain karena ada yang kurang, dengan mengganti/mengirim satu menu utuh. Ternyata, kadang terjadi, konsumen ogah diganti, bilang merelakan, ataupun kalau mau diganti nanti suatu saat saja kalau pas membeli lagi.

Pemilik Blog Senin 27 Desember 2021 ~ 17.22 Reply

Saya sebagai konsumen kadang juga begitu, nanti saja waktu beli atau mengudap lagi. Kenapa? Respons penjual itu sudah saya hargai, dan di dunia nggak ada hal sempurna.

Barusan saya pesan galon Aqua dlsb, sekalian minta Fanta Orange dan Coke, eh yang dikirim Fanta Strawberry. Saya nggak komplain. Kalau Coke diganti karbol ya komplain.

Tinggalkan Balasan