Malam tadi, ketika kalender sudah berganti angka, dari siaran daring Radio Retjo Buntung, Yogyakarta, saya dengar suara biduanita entah siapa, “Kowé maca koran sarungan, aku blanja dasteran…”
Tak ada menu playlist dalam kanal RB sehingga saya tidak tahu judul lagu maupun penyanyinya.
Pagi ini saya menggoogle, tapi yang saya temukan “aku maca koran sarungan, kowé blanja dasteran…” Aku baca koran, kamu (pergi) berbelanja (hanya) dasteran.
Oh ternyata itu lirik “Mendhung Tanpa Udan“, mendung tanpa hujan, dari Ndarboy Genk. Lalu muncul versi Safira Inema sehingga posisi gender dalam lirik pun dipertukarkan.
Selama ini saya hanya tahu judul lagu itu disebut dalam media sosial tapi belum pernah mendengar. Eh, mungkin pernah, sambil lalu, tapi tak begitu saya simak karena saya liyer-liyer, menyetel radio sebagai pengantar tidur.
Latar waktu koran
Bagi saya lirik itu menarik sekaligus aneh. Masih ada idiom baca koran padahal sekarang orang membaca berita di ponsel, itu pun kadang tergantung pancingan di media sosial.
Tetapi di sisi lain, karena tuturan baca koran dalam lirik itu adalah angan-angan masa lalu sepasang kekasih jika kelak berumah tangga, konteksnya malah pas, tidak anakronistis. Persoalannya, masa lalu dalam lirik itu kapan: tahun 90-an, awal 2000-an, atau kapan?
Awakdewe tau duwe bayangan
Besok yen wis wayah omah-omahan
Aku moco koran sarungan
Kowe belonjo dasteran (belonjo dasteran)
Nanging saiki wis dadi kenangan
Aku karo kowe wis pisahan
Aku kiri kowe kanan
Wis bedo dalan*
Sarung dan daster
Oh ya, ada hal lain yang menarik. Membaca koran sambil sarungan. Saya lebih sering sarungan di rumah, dan membaca koran. Saya tampak jadul tapi tak pantas merasa bagian dari kelas menengah urban seperti dalam komik romansa 1960-1970-an, karena ayah, botak dan bermacamata, membaca koran dengan berpiyama. Mirip suasana 1950-an foto khazanah Arsip Nasional RI.
Soal lain adalah daster. Di kampung dan kompleks biasa seperti tempat tinggal saya, sudah jamak jika pagi hari ibu-ibu, terutama yang tak berkerudung, hanya dasteran. Belum mandi, tak sempat dandan, tapi harus mengejar waktu sesuai jadwal dapur.
Jika tidak ke warung, ya membeli dari gerobak sayur di depan rumah cukup dasteran. Daster di luar rumah adalah potret fesyen sosial sebagian masyarakat Indonesia. Ehm, saya teringat komentar seorang ibu terhadap telenovela Amerika Latin dulu, “Itu di rumah kok mereka dandan terus?”
Secara visual, idiom ayah membaca koran, dan ibu menjahit, sore-malam hari (atau pagi-siang pas hari libur?), ada dalam ilustrasi buku sampai 1980-an. Pembagian kerja secara seksualnya begitu. Seorang sarjana Jepang, saya lupa namanya, pernah mengamati ilustrasi buku pelajaran sekolah pada 1980-an dan mendapati ayah baca koran.
Koran pagi dan sore
Sebagai soal dalam pelajaran bahasa Indonesia, Ruang Guru juga punya: “sambil istirahat ayah membaca koran”. Konteks contoh kejadian adalah sore hari. Soal itu dibuat 2020.
Setahu saya sekarang tidak ada lagi koran sore. Harian Terbit dan Suara Pembaruan di Jakarta sudah tamat. Begitu pun Wawasan di Semarang dan Surabaya Post di Surabaya.
Atau koran pagi dibaca sore? Bisa. Saya juga kadang melakukannya. Tapi mau edisi pagi atau sore, koran cetak itu terasa sebagai artefak dalam kultur baca. Penjual koran pagi pada malam hari di lampu merah Pondok Indah, Jaksel, sampai sebelum pandemi tak pernah terlihat.
Soal ayah baca koran juga muncul sebagai ilustrasi bergaya sekarang dalam Quizizz. Jadi idiom visual macam itu masih bertahan pada era koran kertas menjadi produk arkais.
Kembali ke soal “Mendhung Tanpa Udan”, rupanya idiom baca koran merupakan endapan imajinasi masa sekolah si penulis lirik: suatu masa ketika orang masih membaca koran, dan biasanya pria, kaum ayah, bukan kaum perempuan. Dulu dunia konsumsi informasi (dan produksinya) adalah dunia Adam.
*) Ejaan lirik yang banyak tersaji di laman daring saya biarkan apa adanya, sebagai tuturan teks non-baku dalam aksara Latin
6 Comments
saya ngga suka dengan lagu itu, paman. liriknya menurut saya kok penuh stereotipe, yang menurut istilah paman, idiomatis.. 😆
Sebagai lagu tanpa lirik, atau ganti lirik, saya pun tak cocok 🤣
Istri saya, sejak dulu kala, dasteran di rumah setelah pulang dari restonya selepas pukul enam petang. Misal suatu saat beli penganan atau wedang jahe di wedangan/angkringan dekat rmh, dia melengkapi dasternya dengan sweter tipis.
Saya, sejak dulu kala, tidak pernah sarungan, pakai sarung cuma malam hari untuk kemul bagian kaki 😁, dan sudah lama bingits (di rumah) tidak baca koran….
Lik Jun orang masa kini, lebih suka kolor dan baca berita di layar 👍
Kolor pun hanya di rmh.
Keluar rumah agak jauh, yang berarti naik motor, kolor sy sembunyikan di bawah jin soalnya minder kaki saya kecil/keliatan kurusnya kalau tanpa celana panjang🙈
Halah pake minder segala 🤭