Semoga Pilpres 2024 tak akan meninggalkan jejak keterbelahan yang menyedihkan, apalagi membawa-bawa Tuhan, surga, dan juga neraka.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Liputan khusus Kompas tentang Trans-Jawa Jokowi

Antara geli dan kesal saya membaca topik yang sama di grup WhatsApp. Mereka yang pro-Jokowi tak henti memuji idolanya. Mereka yang anti, karena dulu memilih Prabowo, terus nyinyir mengkritik Jokowi. Lalu keluarlah bom pamungkas dari kaum Jokowers: kalau Jokowi salah melulu, kalian nggak berhak menikmati proyek infrastruktur dari Jokowi.

Pokok perbincangan dimulai dari forward tangkapan layar liputan khusus Kompas.id kemarin tentang Trans-Jawa. Saya tak tahu berapa banyak yang membaca berita berbayar itu. Yang penting berkomentar, seperti, “Kompas sejak dulu jadi hamba Jokowi!”

Liputan khusus Kompas tentang Trans-Jawa Jokowi

Halah! Pilpres sudah lewat. Prabowo dan Sandi sudah di kabinet. Kenapa keterbelahan masyarakat sejak dua kali Pilpres, 2014 dan 2019, terus berjejak?

Belum lagi kalau ditambah sentimen pro-kontra Pilgub DKI Jakarta 2017, Ahok versus Anies. Luka itu masih menganga, tak hanya bagi pemegang KTP DKI. Dan ada yang memelihara. Ada tangkisan seolah pamungkas: saya ogah bahas kinerja Ahok tapi siapa yang menistakan agama itu jelas; jadi siapa yang memulai dan jadi sumber masalah itu siapa?

Oh, menyedihkan. Justru karena ada yang menikmati pertentangan. Cinta bisa menjadi simpul apapun, tapi kebencian bisa menjadi pembenar apa saja. Adil sejak dalam pikiran adalah kemewahan.

Waktu saya ikut vaksinasi di GBK, Jakpus, lebih dari sekali saya melihat ibu-ibu ber-wefie dengan pesan, “Jangan keliatan gambar Jokowinya.”

Seorang ibu di belakang saya ngedumel, “Anti ama Jokowi, setelah dapet vaksin tetep benci.”

Lho, vaksin itu itu bukan obat penawar racun kebencian bertahun-tahun. Itu kewajiban negara untuk menyediakan bagi semua orang.

Hal serupa terjadi saat saya dan keluarga mencoba MRT. Seorang ibu, yang tak saya kenal, bergumam dengan pria yang menyertainya, mengomentari serombongan emak-emak, “Liat tuh. Mereka anti-Jokowi, anti-Ahok, tapi seneng aja naik MRT.”

Saya tak akan membahas ide MRT itu sejak kapan sebelum Jokowi dan kemudian Ahok jadi gubernur, dan siapa yang terus membangun.

Saya cuma mau ngomong, kewajiban pemimpin itu membangun dan berbuat apa saja untuk seluruh rakyat, termasuk rakyat yang tidak memilih mereka.

Diingatkan dengan celetukan macam itu biasanya kubu anti maupun pro-Jokowi, maupun pro dan anti-Ahok, sepakat. Tapi pihak anti biasanya punya segudang catatan dengan pembuka “Lha tapi…”

Semoga Pilpres 2024 tak akan meninggalkan jejak keterbelahan yang menyedihkan, apalagi membawa-bawa Tuhan, surga, dan juga neraka.

Liputan khusus Kompas tentang Trans-Jawa Jokowi

2 thoughts on “Pembenci Jokowi tak boleh lewat jalan tol?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *