↻ Lama baca < 1 menit ↬

Headline Kompas obituarium Habibie dan Gus Dur pada kaus

Tak istimewa, karena inilah berkah teknologi digital: kaus printing on demand dengan dukungan cetak langsung ke lain, direct to garmen (DTG). Pakai desain fiktif pun bisa. Belasan tahun lalu ketika DTG muncul, saya merayakannya dengan aneka gambar tata letak media fiktif pada kaus sebagai balas dendam terhadap sablon manual yang pernah saya pelajari tapi sebagai murid buruk nan gagal.

Lalu apa menariknya dagangan Kompas.id dengan sebelas kaus bergambar tata letak halaman muka? Di luar urusan komunikasi pemasaran adalah konteks dari konten.

Apa yang tersajikan oleh media, apalagi koran dan e-paper, menjadi terbingkai secara kolektif di benak khalayak karena media sosial. Konteks suatu peristiwa, dengan beragam tafsir, terekam di sana sebagai belukar jejak digital jutaan akun. Desain kaus-kaus ini menjadi pengingat dalam semangat T-shirt that says blablablah.

Dari sebelas desain yang dijual Gerai Kompas, sejauh saya melihat, tak memasukkan desain contoh dalam iklan, yakni kemenangan pasangan pebulutangkis Greysia Polii dan Apriyani Rahayu dalam Olimpiade Tokyo.

Headline Kompas pada kaus

Kejohanan pasangan itu bukan semata berita besar olahraga. Di media sosial ramai orang membingkaikan konteks primordial: masih pentingkah membahas latar keagamaan atlet?

Dari Google kita memetik satu pelajaran. Saat kita mengetikkan satu nama tenar akan muncul giringan penganjuran informasi tentang agama orang tersebut. Kadang juga agama suami atau istrinya. Mesin pencari mencatat apa yang dibutuhkan pengguna. Mungkin inilah cerminan bangsa religius: selalu ingin tahu agama seseorang, dan hal itu menyangkut penilaian, bahkan harapan, terhadap tokoh.

Headline Kompas obituarium Jakob Oetama pada kaus

Kembali ke soal desain kaus, konteks berupa bingkai perbincangan di medsos hanya berlaku untuk kabar yang menguar setelah ada media sosial, dan banyak penggunanya.

Headline hari pertama Kompas terbit, 1965, tentu tak diiringi pembingkaian konteks di medsos. Adapun isyarat Soeharto akan mengundurkan diri, 1998, hanya menjadi perbincangan di milis yang jangkauan pembacanya tak seluas Facebook, Twitter, dan WhatsApp.

¬ Bukan posting berbayar maupun titipan