Tanggal satu di bulan terakhir tahun 2021. Cerita tentang pandemi, gaji, dan rezeki.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Tanggal satu sekarang, tak setiap orang terima gaji

Pagi tadi aku membalik kertas kalender ke bulan Desember. Oh, bulan ini adalah penutup tahun. Semua orang punya harapan baik tentang tahun depan: pandemi menjadi endemi, rezeki menyeruak lagi.

Hari ini tanggal satu. Aku teringat masa bocah. Teman-temanku di sekolah dan pertetanggaan tak pernah membahas khusus tapi kami tahu bahwa tanggal satu adalah saat para bapak terima gaji. Sudah terbiasa aku mendengar, “Kata ibuku tunggu nanti setelah bapakmu gajian.”

Hampir semua dari kami adalah anak dari para orangtua yang gajian tetap dengan pelbagai profesi dan ragam kesejahteraan.

Hari ini aku sedikit malu, kenapa waktu itu aku tak menyerap cerita dari teman yang orangtuanya bukan orang gajian. Ada yang ibunya berjualan di pasar. Ada yang ayahnya tukang sepatu, buka kios. Ada yang bapaknya penjahit di rumah. Ada yang orangtuanya punya warung pracangan di rumah. Ada yang diasuh pamannya, pemilik pabrik tahu, sehabis sunat anak itu punya arloji bagus. Ada yang entah apa pekerjaan orangtuanya tapi keluarga mereka punya kebun luas berisi aneka tanaman termasuk pohon durian.

Apakah mereka tak kenal tanggal tua dan tanggal muda, karena orangtuanya tak terima gaji secara ajek? Mungkin. Tapi yang telat bayar sekolah bisa anak siapa saja.

Tanggal muda. Tanggal gajian. Aku menengok kalender di ponsel untuk memastikan tanggal sekalian melihat jam. Baterai masih 82 persen. Tapi bagaimana setrumku bernama saldo?

Soal rezeki bukan hanya masalah jalan tapi bagaimana menata hidup. Ah ya, aku ingat Kang Gareng, tukang langgananku, yang tinggal di dekat Kali Malang sebagai perantau likuran tahun tanpa KTP DKI. Dia bisa mengerjakan apa saja. Dia menerima upah secara harian. Tapi untuk mendapatkan dia, demi pekerjaan tiga hari, sudah biasa jika para pemesan menunggu sebulan. Harus antre. Bisa terjadi karena desakan waktu, pemesan terpaksa memakai tukang lain dengan hasil mengecewakan. Pernah sih sebulan dia tak ada order saat pandemi, “Tapi alhamdulilah saya bisa hidup.”

Kang Gareng ikut membangun rumahku. Dia adalah jenis tukang yang bisa ditinggal pergi para bohir, menggarap rumah kosong, karena dia selalu menanamkan prinsip kepada timnya, “Kalo di rumah ini ada yang hilang, berarti malingnya salah satu di antara kita.”

Kang Gareng ogah terima gaji buta. Dia pernah keluar dari toko bangunan karena sering menganggur padahal tetap digaji. “Lha saya malu cuma duduk ngobrol ngerokok kok dibayar. Badan saya malah pegel, kepala mumet,” ujarnya. “Saya pamit keluar, bos saya malah bingung, nganggap saya aneh,” lanjutnya.

Dengan santai, disertai tawa, dia pernah bercerita bahwa istrinya mengeluh, mereka tak pernah diberi keringanan selama menyekolahkan dua anak hingga tamat SMA di kampung asal mereka, Karanganyar, Jateng.

“Mungkin pihak sekolah nganggep saya orang mampu, Pak,” katanya.

Kok bisa, Kang?

“Sejak dulu begitu terima duit saya bayarkan buat sekolah anak-anak. Bisa kadang sekaligus tiga empat bulan di depan. Lalu dapat duit lagi saya bayarkan di depan lagi.”

5 thoughts on “Tanggal satu adalah…

        1. Soal solusi, ini sama dgn montir langganan sy (sejak 80an/sy SMA pads 80an sdh naik motor).

          Misal sy merasa ada parts motor bermasalah, dan minta diganti baru, dia tdk langsung mengiyakan tapi kemudian mengecek terlebih dahulu, dan jika ternyata msh bagus dia nggak akan mau mengganti tapi ndandani dulu.

          Nah, pasti karena itulah —plus ongkos yg tdk pernah mahal— montir sy ini laris manis, dan “pasiennya” pun mengantre.

          Terakhir sy ke sana, hanya ngganti slebor blkng tril yg patah, masangi reting dan lampu stopan dan bbrp pekerjaan ringan lain (bukan mesin), trail sy hrs sy tinggal seminggu🙈

          Waduh panjang nian, mestinya ini sy tulis untuk konten blog.😬

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *