Katanya sih, kaum sosialis mapan, yang hanya berdiskusi, juga diuntungkan kalau upah buruh naik.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Kaum sosialis berjouis bukanlah proletar, hati mereka di kiri tapi kantong di kanan

Mestinya Kleting Kuning hari ini mulai WFO tapi dia memilih WFH. Bosnya setuju.

“Napa sih Oom pada demo? Di banyak kota kayaknya, bikin macet.”

Kamso menyahut, “Lha kan nuntut hak, Ning? Dulu kamu kalo ngerasa underpaid ngeluh, diperlakukan sebagai kuli bahkan kerja rodi. Kamu dan temen kamu pake istilah modern slavery.”

“Lha kan dulu…”

“Sekarang setelah gajimu tiga kali UMK Karawang, itu UMK tertinggi di Indonesia, dengan masa kerjamu tiga tahun lebih dikit, kamu bilang demo buruh itu ngeselin. Padahal kalo upah mereka naik, gajimu juga naik tanpa perlu demo.”

“Jangan bilang gitu dong, Oom.”

“Atau kamu keberatan kalo upah mereka naik, soalnya harga produk yang kamu beli juga naik? Ini di luar isu ekonomi lagi nggak sip karena pandemi lho, termasuk bagi sebagian pengusaha…”

“Maaf ya Oom, waktu Oom kerja di mana-mana itu, gajinya sekian kali UMP apa UMK gitu kan? Atas nama kepedulian apa pernah Oom mendukung demo buruh? Bentuknya apa? Apa Oom juga pernah ikut serikat pekerja? Apa artinya Oom masang poster Che Guevara dengan passpartout bagus ala Toraya Frame? Oom juga pernah pake t-shirt wajah berewok jenggot panjang, ada tulisan proletarians of all countries, unite!

“Hmmm… So? ” sahut Kamso kalem — kayak lembu.

“Aku nggak ngerti politik. Pernah Oom cerita sosialisme Fabian tapi aku nggak ngeh, soalnya nggak tertarik. Tapi pernah denger Oom ama geng Oom becanda di Kemang, ‘Kita ini kan sosialis aliran Prancis, hati di kiri, kantong di kanan. Ideologi kita diskusikan ditemenin wine.’ Ya, kan?”

¬ Gambar praolah: Shutterstock

5 thoughts on “Demo buruh? Huh!

  1. Sejauh sy tahu, sebuah koran di Smg kesulitan keuangan sejak bertahun-tahun lalu, dan gaji para wartawan (beberapa di antaranya kawan sy) sering tertunda.

    Sejauh sy tahu pula, tidak pernah ada wartawan maupun karyawan bidang2 lain di sana yang demo….

    1. Saya gak tau. Di lapangan mungkin reporter juga diledek demonstran: buruh kok merasa sebagai priayi. Tapi mereka dibutuhkan demonstran, terutama karya foto mereka. 🙈🙊

      Pekerja pada penerbit media yang terlihat sebagai pekerja adalah di bagian grafika (kalau pake percetakan sendiri) dan pendukung (bagian kendaraan, teknik, dsb).

      The Times di London pernah berhenti terbit setahun karena pemogokan serikat buruh grafika yang menolak komputerisasi krn adopsi teknologi berakibat PHK.

      1. Di Indonesia, ketika beberapa penerbit menunda bayar gaji awak redaksi sampai tiga bulan, para wartawan yang sejauh saya dengar, tidak demo.

        Begitu pun awal 2000-an ketika sejumlah koran baru dari sebuah grup penerbit bermasalah, urusan tampaknya tak diuraikan publik. Bbrp koran itu menggunakan rekening pribadi, bukan rekening perusahaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *