Punya usaha sendiri itu tak seperti pegawai karena lebih merdeka, tanpa majikan, bebas bikin libur sendiri.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Warung atau toko tidak bisa tutup sesuka hati

Tadi saya menanya Bu Warung Kelontong, kenapa kemarin tutup. Dia bilang ada acara di rumah mertuanya seharian.

Maka sekali lagi terbantahkan omongan orang bahwa punya warung laku itu enak. Kerja tanpa majikan. Bisa suka-suka.

Hanya orang iseng tak butuh duit yang buka warung sesuka hati. Seorang ibu, pensiunan guru, di Salatiga, Jateng, buka warung Kelontong kecil untuk mengisi pengisi waktu. “Kalo lagi males, nggak buka. Kan barangnya nggak busuk?”

Tentu merepotkan apabila suka-suka diterapkan untuk warung sayur atau buah atau ikan. Lebih repot lagi untuk warung makan, karena urusannya berlipat, bukan cuma dengan pelanggan yang bisa kapok kalau warungnya dhatnyeng tetapi juga pemasok bahan, stok, dapur, pegawai, dan lainnya. Itu tadi masalah di luar arus kas.

Begitulah, meninggalkan dagangan bukanlah perkara gampang, bahkan misalnya punya anak buah pun bukan jaminan beres.

Itu tadi warung atau toko yang laku. Kalau warung yang tak laku tapi suka-suka? Jika pemiliknya suka buang duit dan terus memperbesar takaran iseng, bisa awet usahanya. Rugi tak dalam kamus di ponselnya — misalnya dia menginstal.

Β¬ Gambar praolah: Shutterstock

3 thoughts on “Punya warung laku itu paling enak, katanya

  1. Warung istri sy tdk pernah tutup, kecuali saat lebaran (biasanya dua hari) krn semua karyawan libur.

    Warung tdk pernah libur tapi karyawan ya libur seminggu sekali, diatur.

    Saya bersyukur, warung istri sy termasuk warung laku😊

    1. BTW, antara 2005-2010 saya lihat beberapa kedai kopi maupun resto kecil yang sepi, kalau pun rame isinya teman-teman si nyonya pemilik. Apa nggak rugi, saya membatin.

      Seorang ahli keuangan, yang berkantor di Singapura, membisiki saya, liat aja latar belakang mereka bukan pebisnis. Suaminya juga bukan pebisnis tapi eksekutif BUMN, kuasi BUMN, dan lembaga negara. “Sttt… Duit panas,” katanya.

      Lalu saya ingat sebuah galeri kafe di sebuah pertigaan besar. Tuan rumah adalah dirut anak usaha BUMN yang mengajari anak buahnya, termasuk teman saya, “Pinter-pinternya kita.” Prinsip yang berlaku sampai ke sopir.

      Istri beliau bikin galeri kafe. Tak sampai enam bulan tutup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *