Minum secara langsung tetap lebih enak, ada sensasi pencecapan, dan mengenal kenyang terutama untuk minuman bergula.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Minuman hangat kok pakai sedotan, padahal kopi dan teh lebih enak dicecap dulu

Sepanjang punya pilihan, saya lebih suka minum secara langsung tanpa buluh penyedot, terutama untuk minuman hangat. Untuk minuman dingin juga. Tapi jika tak ada sendok padahal ada cendol, kenyal-kenyil entah apa, dan bubbles, agak repot juga. Buluh besar kadang macet.

Minum melalui buluh penyedot — ya, KBBI V akhirnya mengartikan “sedotan” sebagai penyedot, bukan hanya hasil menyedot — mengurangi sensasi pencecapan pada ujung lidah.

Bagaimana kalau dari botol? Pada zaman botol beling, kadang tutup dan seal kotor berkarat. Apa boleh buat saya pakai buluh.

Pakai sedotan, untuk orang yang banyak minum seperti saya, juga menunda rasa kenyang cairan. Dulu saya minum Teh Sosro sebotol cepat habis karena terpaksa pakai sedotan. Apalagi kalau dalam pertemuan minum dari gelas plastik: cepat habis.

Saat panas minum dingin banget melalui buluh, selain mengurangi sensasi juga menjadikan cairan langsung ke tenggorokan, bisa radang. Oh tidak, sebenarnya menggenangi rongga mulut dulu.

Kalau buluh kotak pipih kopi panas, itu untuk mengaduk atau menyedot? Keduanya. Tapi saya hanya mengaduk.

Biasanya saran untuk orang yang harus banyak minum air putih adalah pakai sedotan. Supaya tidak lekas mblenger atau jenuh.

4 thoughts on “Sedotan itu antara perlu dan tak perlu

  1. Saya jg sangat jarang pakai penyedot aka sedotan, paman.

    Biasanya minum di-glogok dari gelas, atau botol.

    Kalau dpt suguhan air mineral dlm gelas pun pasti sy sobek tutupnya pakai sedotan pendek-keras itu kemudian sy glogok.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *