Bangga saya, karena majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat (PS; No. 37, 11 September 2021) memuat tulisan saya untuk menyambut ultahnya ke-88. Bangga, karena menulis dalam bahasa Jawa itu bukan urusan mudah bagi saya. Bahasa tulis dan lisan jelas berbeda.
Saya tahu diri bahwa saya ini wong Jawa yang nanggung. Bahasa Jawa baku saya buruk, sementara untuk bahasa Indonesia saya menghakimi diri tak terlalu jelek.
Kagok dan sesorah ndakik
Ketika menulis dalam bahasa Jawa sangat terasa tuturan saya seperti teks berbahasa Indonesia yang dijawakan. Saya harus berguru kepada Ki Blonthank dan Ki Lantip.
Di sisi lain, ketika menulis dalam bahasa Indonesia pun kadang terasa kejawaan saya. Semacam menyebut “punya anak banyak”, bukan “punya banyak anak”. Masih ditambah banyak akhiran “nya” pula.
Apa boleh buat, bahasa ibu saya adalah Jawa. Bahkan saya mengalami sejak TK hingga kelas dua SD diajar oleh guru dalam bahasa Jawa. Maka setelah dewasa, alam pikir saya pun Jawa. Ketika menyebut angka dalam benak pun sering ada kata siji, satus, sèwu. Tapi sejuta saya sebut apa adanya, bukan “sayuta“. Dalam mimpi pun kadang saya berbahasa Jawa.
Dulu ketika Taufik Ikram Jamil menjadi wartawan Kompas, saya senang membaca laporan berkisah dia: ada nuansa Melayu. Ya, tersebab dia Melayu. Di Riau sana.
Menulis untuk PS ini saya lakukan dengan tertegun-tegun karena tak selancar menulis dalam bahasa Indonesia. Apa boleh buat, kosakata Jawa saya terbatas.
Begitu terbatasnya kosakata saya, sehingga jangankan menyimak dalang, mendengarkan pranatacara sedang sesorah atau micara ndakik-ndakik dalam resepsi pernikahan Jawa pun saya tak paham kata demi kata. Tak paham karena keterbatasan penguasaan, bukan karena hadirin sibuk ngobrol — dan cipika cipiki sebelum ada pandemi.
Hikmah dan pening anjing
Tentulah terpetik hikmah dengan menulis untuk PS: saya mengeluarkan laptop yang selama dua bulan ada di kotak berkas karena sejak Juni saya tidak menulis di luar blog. Untuk menulis di blog saya menggunakan ponsel, dengan aplikasi WordPress.
Apa sih yang saya tulis di PS? Mesin antik penera nama dan alamat pelanggan. Namanya Graphotype Addressograph. Pada Perang Dunia II, Amerika menggunakan mesin ini untuk membuat pening serdadu (dog tag).
Pelibatan mesin ini lebih mahal daripada senarai di komputer dengan keluaran berupa stiker hasil cetak laser yang memuat barcode maupun QR code. Harga satu bilah karakter Graphotype di eBay Rp1,28 juta, belum termasuk ongkir Rp742.000. Maklum, itu suku cadang perkakas vintage.
¬ Foto-foto Graphotype: Fathurahman / Panjebar Semangat
2 Comments
Dapat honor menulis dong, paman? 😁
Semoga 😍