Di pilpres sebelum 2014 dan pilgub DKI sebelum 2017 orang bisa santai, setelah pemilihan selesai bisa lupa siapa saja kandidatnya.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Mural pendukung Anies versus pendukung Jokowi

Dul Gepuk mengeluh via WhatsApp, “Sampean ndak capek sama kegaduhan pendukung Anies dan Jokowi?”

Kamso membalas, “Sdh bosen. Kayak gak ada hiburan lain.”

Gepuk tak puas. Langsung menelepon Kamso, “Aneh nggak sih Mas, gubernur kok diadu ama presiden?”

“Nggak juga. Anies masih gubernur, pengen jadi presiden. Setidaknya maunya fans dia gitu. Jokowi bekas gubernur, entar jadi bekas presiden.”

“Hahaha! Mau ngadu Jokowi ama Prabowo-Sandi kok mereka udah di kabinet. Lalu kenapa sebagian yang nyerang Jokowi itu justru yang dulu milih dia, tapi yang nyerang Anies jelas pembenci dia?”

“Dampak kebijakan Jokowi itu nasional, yang kena banyak, termasuk pendukung dia. Kalo dampak kebijakan Anies kan cuma warga DKI, tapi wilayah tetangga bahkan yang di pulau lain merasa dirugikan.”

“Mas belum njawab, kenapa pendukung Anies malas nyerang Anies?”

“Mungkin belum ada bekas pendukung Anies. Kalo bekas pendukung Jokowi kan ada. Atau bisa juga, meskipun pendukung Anies tahu bahwa dalam beberapa hal Anies itu nggak sip, misalnya soal kelebihan bayar, mereka nggak mau kasih angin buat lawan. Mending diem, lalu bikin isu baru buat nyerang lawan.”

“Napa sih Mas kok berlarut-larut?”

“Mungkin mereka hobi bertengkar. Dimulai Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pilpres 2019 yang jadi urusan hidup dan mati. Orang bosen nyantai, padahal di pilpres sebelumnya kalo udah rampung ya udah, lantas orang lupa siapa aja yang nyapres.”

“Kayaknya nggak sesimpel itu deh, Mas.”

¬ Gambar praolah: Kontan, Shutterstock, Setkab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *