Selama satu setengah tahun pandemi, media yang mengutamakan foto mutakhir, apalagi hasil jepretan reporter dan fotografer sendiri, sering menampilkan wajah bermasker.
Untuk orang terkenal tak apa. Banyak orang sudah tahu wajahnya. Bagaimana untuk tokoh baru atau tokoh lama tapi hanya diketahui kalangan terbatas?
Bagi media yang menghormati hak cipta, enggan main embat foto milik pihak lain dengan kredit “istimewa”, ilustrasi bisa menjadi opsi. Setiap media punya ilustrator.
Mungkin inilah saatnya media memperbanyak gambar ilustrasi hasil pekerjaan tangan, bukan sekadar hasil efek instan di komputer, agar tak banyak wajah bermasker maupun tangkapan layar rapat virtual. Juga tak banyak wajah dengan maupun tanpa masker dari akun Instagram si tokoh.
Kompas baru memulai, dengan memasang ilustrasi. Semoga bukan lantaran sulit memperoleh foto yang aman dari sisi hak cipta. Kalau Koran Tempo sih rutin karena menjadikan halaman pertama sebagai poster, sementara ekspresi dan gestur foto tokoh yang ada sering kali tak memenuhi kebutuhan visual.
Kalau The Wall Street Journal, terutama pada masa jaya media cetak, kuat dengan ilustrasi gaya hedcut. Bahkan foto baliho di Jakarta pun digambar ulang dengan memakai pena.
Ketika Mojok muncul, dulu juga kaya dengan ilustrasi. Gaya itu mengingatkan saya pada situs musik indie Daytrotter.