Kamsi tahu suaminya kurang nyaman hati setelah menerima makanan pesanan si bungsu. Dia tahu suaminya untuk keempat kali, malam hari, menerima kedatangan kurir ojek yang memboncengkan istri, tampaknya mereka pulang kerja.
“Aku bayangin anak-anak mereka di rumah petak kontrakan nunggu bapak ibunya pulang, ngarepin oleh-oleh, tapi orang tua beli makanan untuk orang lain. Makanan yang mungkin belum pernah mereka rasain,” Kamso menggeremeng.
“Iya, makanya kita selalu ingetin anak-anak untuk ngasih tip,” ujar Kamsi.
Pernah suatu sore, ojek pengantar makanan memboncengkan istri dan satu anak, semuanya riang, rupanya mereka cari angin setelah mandi.
Tapi siang tadi Kamso malu terhadap diri sendiri setelah menerima gudeg pesanan. Taruh kata sudah ada komisi atau apalah untuk pengojek dengan radius antar di bawah lima kilometer, sehingga pendapatannya lumayan, Kamso masih selalu mencari ongkir yang sepadan dengan harga makanan.
Lalu lamunan Kamso terbang ke upah kurir paket dengan simulasinya atas nama kemitraan.
Kamso merasa sebagai kelas menengah tanggung nan ngehek. Maunya ongkir murah kalau bisa gratis, sambil menutup mata bahwa bakar duit untuk subsidi ongkir itu berkemungkinan mengabaikan kesejahteraan kurir.
2 Comments
duh, saya termasuk yang suka cari free ongkir di Amazon.. tapi untuk dapat itu, harus belanja minimal seharga tertentu (biasanya pesen banyak, dijadikan satu) atau berlangganan layanan Amazon Prime.. 😅
Semua konsumen sehat maunya itu. Tinggal bagaimana perusahaan platform dagang dan logistik memperlakukan buruhnya.
Makin jelas aturan dan sanksinya ya tambah bagus.
Di Jerman bagus kan?