Dengan maupun tanpa sensor-dan-kamera di hidung mobil, patokan berhenti itu mentok atau belum sebenarnya sederhana. Kalau bunyi jedhug berarti pol.
Saya bukan pengemudi terampil, tapi sejauh ini, seingat saya, tidak pernah menciumkan bemper depan.
Kalau untuk bemper belakang, sebelum ada sensor apalagi kamera 3D, patokan mentok juga dari bunyi jedhug. Semuanya bukan masalah asal tak menyentuh orang terutama anak kecil dan piaraan yang tak tertangkap kaca spion. Kalau menyangkut properti orang ya harus siap mengganti rugi.
Dulu, pada era MPV lawas seperti Toyota Kijang tanpa sensor mundur, kadang ada penumpang jahil di belakang. Saat mobil mundur, dia menyikut kaca sehingga bunyi jedhug, lalu sopir pun mengerem.
Lalu urusan foto dalam posting ini? Karena mobil dipakai bergantian, saya memasang selotip Scotch di tembok carport, lalu saya coret dengan spidol merah, sejajar dengan kaca spion. Baru kemarin saya lakukan.
Ndesit bin katro, ya? Biarin. Ini kan tembok saya. Saya meniru halte busway. Dulu ada dua penanda titik henti sesusai merek bus Transjakarta, misalnya Hino, agar pintu bus tepat berhenti di depan pintu halte.
Kenapa di tembok kiri? Bidang tembok kanan tak memadai, titik untuk spidol berada di udara.
Cara ini lebih murah dan lebih mudah ketimbang beli, apalagi merakit, alat photoelectric sensor dengan laser.
6 Comments
kalo di Berlin, kereta yang ada penanda begini. di jam-jam tertentu, rangkaian kereta pendek, dan masinis berhenti di area yang ditandai khusus untuk kereta reguler atau kereta pendek. tanda ini berupa tulisan H besar.
Perlu difoto, Zam 😁
wah jenius!
ini akan saya tiru oom
Oh, jenius ya?
🙈
Urusan parkir mobil, semua orang (mestinya) sama. Pasti pernah mengalami jedhug. Minimal waktu masih awal bisa nyetir.
Maklum, titik buta kendaraan roda 4 atau lebih itu banyak 😁
Komen melegakan 🙏🤣❤️