Tulisan tangan selalu nyeni

Tulisan tangan generasi yang mengalami proklamasi hampir sama. Yang tak bergaya indah disebut bukan tulisan orang terpelajar.

▒ Lama baca < 1 menit

Tulisan tangan dalam bon nasi rendang bundo kanduang

Sudah beberapa kali saya menulis soal tulisan tangan dalam kertas bon. Saya menganggapnya nyeni, dan membayangkan seorang auditor iseng yang telaten memotreti bon akan memiliki koleksi foto artefak perniagaan.

Tilikan saya ihwal tulisan tangan dalam blog selalu senada: apakah semua orang bisa mempertahankan kebagusan tulisan tangannya karena lebih sering memakai ponsel dan laptop.

Soal lain adalah tulisan tangan yang tetap bertahan dalam pasar daring. Pesan peralatan listrik di Tokopedia masih dilampiri bon tulisan tangan. Ada ketakziman terhadap konsumen padahal sistem sudah menyediakan bukti bayar secara digital, bahkan misalnya harus pakai bukti fisik biasanya cukup printout dari komputernya.

Bon Gofood dari gudeg rumahan berjenama Mbah Tomo menerakan gaya tulisan kaum belia. Mungkin putrinya. Atau malah cucunya.

Lalu kantong biji kopi arabika yang berdesain bagus masih menerakan tulisan tangan untuk penanda produk, termasuk tanggal sangrai. Memberi kesan tidak massal, ada pemeriksaan pesanan secara manual — dan juga saksama.

Bon Gofood dengan tulisan tangan dari Nasi Goreng Kebon Sirih malah menunjukkan hal lain, justru teks tercetak, yakni keberanian memperkaya bahasa: “order dimari“.

Tulisan tangan menguak banyak hal. Misalnya babak zaman. Tulisan tangan para sepuh yang hidup sezaman dengan para founding fathers berlanggam sama, ditulis dengan pulpen atau fountain pen dan sejak sekolah dasar mereka dilatih menulis indah. Itulah tulisan tangan kaum terpelajar.

Tulisan generasi muda 1970-an sudah berbeda dari orangtuanya. Demikian pula pemuda generasi berikutnya. Lalu ada masa ketika grafiti punya langgam tipografis sendiri.

Di luar itu sempat ada gaya yang khas. Tulisan tangan mahasiswa teknik arsitektur — mereka terbiasa menggunakan Rapido (ini merek, selain Rotring dan Staedler untuk drafting pen) — yang menyebar ke luar ranah dan tulisan tangan di Yogyakarta yang dulu disebut “gaya nyesri (SSRI)”, dan ada pula yang bilang “gaya ngasi (ASRI, kemudian STSRI, lalu ISI)”.

Logo Ayam Goreng Kalasan dekat TVRI, Jalan Magelang, Sleman (1970-1980-an), bergaya tulisan tangan “nyesri”. Serupa gaya sampul buklet indie maupun pamflet seni yang disablon sebelum memanfaatkan Letraset dan Rugos. Juga mirip tulisan tangan dalam rubrik Pop Art di majalah Aktuil.

6 Comments

warm Selasa 6 April 2021 ~ 17.10 Reply

saya selalu seneng liat tulisan tangan seseorang, lalu sok-sokan menebak pribadi penulisnya hehe. Dulu saya bahkan bisa jatuh cinta dengan seorang gadis hanya gara2 tulisan tangannya, paman hehe

Pemilik Blog Rabu 7 April 2021 ~ 10.55 Reply

Cocok jadi ahli grafologi 😇

snydez Selasa 6 April 2021 ~ 13.54 Reply

tulisan tangan saya tergantung kecepatan
kalo pas nyatat meeting, selesai meeting ga bisa dibaca :D

Pemilik Blog Rabu 7 April 2021 ~ 10.54 Reply

Sama dong. Bahkan coretan saya di luar rapat juga sulit saya baca 🙈🙊

Zam Senin 5 April 2021 ~ 16.55 Reply

konon katanya kalo pake tulisan tangan, terasa lebih “personal”, dan bon dibuat khusus untuk si pelanggan..

Pemilik Blog Senin 5 April 2021 ~ 21.43 Reply

Kalau sekarang gitu. Dulu karena kahanan 😁

Tinggalkan Balasan