Saat menunggu pemilik warung memilihkan telur ayam, saya iseng membuka kulkas. Ternyata freezer. Berisi es batu dalam kantong plastik. Harga seplastik es batu Rp2.000.
Artinya, tak sedikit warga kampung padat di sekitar warung itu yang belum punya kulkas. Banyak rumah petak di sana.
Juga artinya sama dengan saya ketika baru menempati rumah. Kami tidak punya kulkas. Selama beberapa bulan, kalau butuh es batu, kami membeli di warung sebelah selisih satu rumah. Lalu saya meminjam uang dari koperasi untuk beli kulkas.
Syukurlah kulkas satu pintu Toshiba yang masih memakai freon itu awet, bisa sampai 25 tahun, dan ketika saya hibahkan masih berfungsi dengan baik.
Waktu saya bocah, kulkas adalah barang mewah. Saya ingat, keluarga teman saya punya kulkas Westinghouse yang tambun — maklumlah keluarga indo itu kelas menengah lama. Keluarga saya tak punya kulkas. Saya harus naik sepeda, beli es batu, ke pabrik es yang juga membikin es lilin dan es mambo.
7 Comments
waktu tinggal di Jaktim, saya menemukan warung kelontong depan kompleks yang buka 24 jam dan jual es batu begini.. saya sendiri tak pernah membeli namun pernah lihat beberapa orang beli dari warung ini..
Setelah aku pindah bermukim ke Australia, setiap kali mudik, wejangan istri selalu satu: jangan minum es! Airnya mentah dan perutmu mules. Pernah nekat nyoba dan ternyata benar. Benar mulesnya meski tetap tak percaya apakah airnya itu air mentah atau bukan.
Sugesti mungkin? Kan drinking wafer di Ostrali laik minum?
perutnya udah londo :D
Hahahah
Betul, perutnya wes londo bukan perut kampung meneh kui wkwkwkwkwk
Lhaaaa 🤣